Astor Terakhir
(
Karya Tsausan Syadza Salsabiela )
Sore yang sungguh panas.
Matahari seolah mengeluarkan seluruh dayanya untuk menyinari bumi siang tadi. Daun-daun banyak yang kering, berjatuhan tak berarti. Sore
itu, seorang anak mendapat kiriman dari Pak Pos, sebuah kotak sedikit besar.
Anak itu nampak ceria sekali mendapatkiriman itu.
“Selamat
sore, betul ini rumah Dik Sarah ?” tanya Pak Pos ramah.
Matanya
seperti menahan sesuatu. Terlihat sembab seperti habis menangis.
“Iya,
saya Sarah Pak, ada apa ?” jawab Sarah.
“Ini,
ada paket dari Jakarta, atas nama Wagiran dan Dalimah untuk Sarah Aulia.”
“Betul,
itu dari Bapak dan Ibu, untuk Sarah ? Sini..yeeee, asyikkk… Sarah dapat paket.”
Anak
itu tampak ceria sekali. Setelah tanda tangan dan menerima paket, Sarah
langsung masuk rumah. Ia meningalkan mainannya di halaman. Tante sedang tidak
di rumah. Jadi Sarah melakukan semua sendiri. Sarah memang bukan anak manja, ia
sangat tanggap dan cepat dalam menangani sesuatu.
****
Namanya
Sarah Aulia. Usianya 12 tahun. Sudah 7 tahun dia tinggal bersamaku. Dia anak kakakku. Kakakku, Mbak Dalimah tinggal di Jakarta.
Bekerja disana bersama suaminya sejak Sarah kecil.
Sarah adalah anak yang baik. Hatinya lembut. Perawakannya tidak terlalu
besar dan tidak terlalu kecil. Sehari-hari ia membantuku membereskan rumah.
Biasanya sepulang sekolah.
Sarah masih duduk di bangku kelas
6 Sekolah Dasar. Bersama Vika ia
habiskan waktunya untuk bermain. Sarah anak yang ceria. Ia supel sekali. Mudah
bergaul, pemberani dan mempunyai mental yang kuat. Pernah beberapa kali aku tak
di rumah. Sarah didatangi Mas Zaim, mantan suamiku. Ia mengamuk karena tidak
terima dengan pembagian harta gonogini pasca perceraian kami tahun lalu. Sarah
dengan berani menghadapinya, mengatakan bahwa aku tidak ada dan kami juga tidak
punya uang. Tetanggaku yang menyaksikan, ngeri katanya, ia ceritakan semua
padaku.
Sarah oh sarah anak yang baik hati. Dia suka sekali makan Astor. Sudah tiga
kali lebaran ini Sarah melahap semua astor yang ada di rumah. Maklum, ayah dan ibunya selalu membawakan makanan itu
untuknya. Mereka tahu betul apa yang disukai oleh anaknya. Meski dia sangat
suka astor, Sarah juga tidak enggan berbagi dengan kawannya. Pernah suatu
ketika, astor-astor dari ibunya tinggal 5 batang. Vika datang menghampirinya
untuk bermain. Aku tak menyuruhnya, memberi aba-aba atau intruksi. Sarah dengan
sukarela membagi astor itu.
Mbak Dalimah dan suaminya memang merantau. Mereka adalah tulang-tulang kuat
pengais rejeki di Ibukota. Ini adalah tahun ke 7 Sarah berlebaran
denganku. Mbak Dalimah tidak bisa pulang lebaran kali ini. Ada pekerjaan yang
mengharuskannya untuk tetap tinggal disana. Sarah Aulia sangat sedih hatinya.
Sudah setahun ini ia menantikan kedatangan Ayah dan Ibunya. Mereka
menjanjikan sesuatu pada Sarah. Ya, tentu saja astor. Mbak Dalimah berjanji
akan membawakan banyak astor untuk Sarah. Karena ia akan pulang terlambat. Dua
hari setelah hari raya.
Sore yang ramai. Penuh hiruk pikuk orang-orang yang mempersiapkan lebaran
besok. Sarah dan aku hanya mempersiapkan dua porsi opor ayam. Aku hanya memasak
sedikit. Sengaja memang. Sarah melarangku masak terlalu banyak. Ia ingin
menikmati masakan dari Ibunya. Mbak Dlimah memang jago masak opor ayam. Sarah
akan makan banyak sekali jika ibunya yang memasak.
Hari raya Idul Fitri telah tiba. Benar. Aku dan Sarah hanya merayakan
berdua saja. Rabu nanti Mbak Dalimah dan suaminya akan tiba disini. Aku juga
menantikannya. Sama halnya dengan Sarah. Dia adalah kakak yang baik buatku.
Dialah yang membiayai pendidikanku sewaktu Sma dulu.
Kami menunggu, jam demi jam. Sehari jadi dua hari. Dan akhirnya sudah hari
Rabu. Aku dan Sarah menunggu didepan rumah. Kami menantikan telpon berdering,
tentu dari Mbak Dalimah. Atau taksi yang berhenti di depan rumah. Sarah
terus-terusan bertanya kapan Ibu pulang. Aku hanya menjawab, sebentar lagi
sayang. Sabar. Begitu terus.
Hari sudah gelap. Jalan di depan rumah ramai sekali. Orang-orang hilir
mudik kesana kemari. Tentu saja, bersilaturahmi ke sanak saudara. Kami memang
sudah tidak mempunyai kerabat lagi di Jawa ini. Kakakku yang lain, mereka
tinggal di Kalimantan dan Suamtera. Sudah beberapa kali memang mereka tak
pulang saat lebaran. Mereka sudah mempunyai keluarga sendiri disana. Memang
setelah ayah dan ibu kami tiada, sudah tiada daya tarik bagi mereka untuk pulang ke Jawa.
Hari ini hari Kamis. Belum juga terdengar kabar dari kakaku. Sarah terus
menunggu di depan rumah. Menyakan ada telfon atau tidak. Begitu terus. Tapi
tetap saja, tidak ada kabar sama sekali. Kasihan Sarah. Ia pasti sangat
merindukan Ibunya. Juga ia menantikan astornya. Sesungguhnya, aku juga sudah
membelikan astor untuknya. Tapi ia tetap tidak mau. Katanya iaingin astor dari
ibunya.
Sore yang melelahkan. Seharian aku dan Sarah hanya menunggu mereka pulang.
Waktu menunjukan pukul 21.00.
“Tante, apakah Ibu akan pulang ? kapan ?”
“Tentu Sarah, Ibu akan pulang. Mungkin dia masih dalam perjalanan. Sabar
sayang”
Sarah menglendot di pangkuanku. Wajahnya mulai putus asa. Sebetulnya aku
juga kasihan pada bocah ini. Sudah empat
hari menunggu ibunya.
“Sarah, ayo sayang, ini sudah terlalu malam. Sarah tidur dulu. Nanti kalau
ibu pulang, tante bangunkan.”
“Iya tante.”
Dengan langkah malas Sarah menuju kamarnya. Aku duduk di teras. Mulai
teringat masa-masa aku dan Mbak Dalimah dulu saat bersama. Kita sering mencari
ikan di sungai, mencarikayu bakar, dan daun-daun di ladang dekat rumah. Mabk
Dalimah sangat cantik. Banyak orang yang suka padanya dulu. Hanya ayah Sarah
yang diterima.
“Oh..tidak-tidak. Kenapa aku tiba-tiba teringat kenangan-kenangan itu.”
Batinku.
Firasatku mulai tidak enak. Aku berlalu saja. Kutinggalkan rasa itu di
teras rumah. mungki rasa itu muncul
karena aku terlalu lelah. Ya, aku memang lelah. Sangat lelah.
Hari ini sudah hari Jumat. Mbak Dalimah belum juga pulang. Sarah sepertinya
juga sudah lupa akan penantiannya. Ia sedang bermain dengan Vika di depan
rumah. Aku mendengar obrolan mereka dari teras.
“Ibuku akan pulang sebentar lagi, ia akan bawa banyak astor untukku. Nanti
kamu akan kuberi satu kotak deh.”
“Benarkah, terima kasih Sarah, kamu baik sekali.”
“Iya, tentu saja. Kau adalah temanku
Vika.”
Ternyata aku salah. Sarah masih sangat menantikan Ibunya. Meski dari luar
ia terlihat kuat. Tapi sesungguhnya ia sangat lemah dan rapuh. Aku tahu dia
sangat rindu ibunya. Sejak semalam aku berusaha menghubungi ibunya. Tapi tidak
bisa. Aku sms tidak dibalas. Ada apa dengan Mbak Dalimah. Tapi aku berusaha,menutupinya
dari Sarah. Aku tak mau ia ikut cemas.
Hari ini aku akan pergi pengajian. Pengajian rutin setiap Jumat. Sarah
sudah biasa aku tinggal di rumah sendiri. Biasanya setelah asar sampai maghrib.
“Sarah, tante berangkat dulu ya.”
“Iya tan.”
Aku berlalu meninggalkan Sarah yang sedang bermain.
Sore yang mendung. Waktu menunjukkan pukul 16.53. Sore itu, seolah tidak
ada angin yang berhembus. Cuaca panas. Sebentar lagi hujan akan turun.
Sebuah sepeda motor berhenti di depan rumah. Seseorang turun dari motor
itu, memakai baju berwarna orange. Rompi orange, helem orange. Semua orange.
Dia mengeluarkan sebuah kotak dari kantong yang tergantung di motornya.
“Selamat sore, betul ini rumah Dik Sarah ?”
“Iya, saya Sarah Pak.”
“Ini ada paket untuk Sarah Aulia dari Wagiran dan Dalimah.”
“Iya, itu ayah dan Ibu. Asyiikk... Sarah dapat paket.”
“Terima kasih pak.”
Sarah berlalu begitu saja. Ia masuk rumah dan langsung membuka paket itu.
Betapa senangnya bocah itu.
“Apa isinya ?” Batin Sarah.
“Astor!!..asyiik Sarah dapet astor dari ibu.”
Anak itu senang sekali. Sarah berlari kesana kemari. Meloncat-loncat.
Berteriak.
Aku memang sudah pulang ketika Sarah mendapat paket. Vika yang memanggilku
di masjid.
Aku turut senang melihat Sarah mendapat astor itu. Tiba-tiba dalam
kesenangan itu Sarah terhenti. Ia menatapku.
“Tante, kenapa hanya dua astor ?”
Aku terdiam.
“Mereka berjanji akan membawakan banyak astor untuk Sarah kan ?”
Lama-lama Sarah terisak-isak. Matanya mulai berjaca-kaca. Ia taksanggup membendung
sungai kecil dari matanya itu. Sarah menangis. Ia kecewa karena hanya mendapat
sedikit astor dari Ibunya.
Jujur saja aku juga tidak tahu, kenapa Mbak Dalimah hanya memberisedikit
astor untuk Sarah.
“Tidak apa Sarah.”
Aku membelai rambutnya.
“Sarah, dengar tante, mungkin Ibu baru sempat mengirim dua astor sebab jika
terlalu banyak maka tidak muat ditaruh di kantongnya Pak Pos. Coba tadi Sarah
lihat, kantong Pak Pos hanya dua, tidak terlalu besar pula. Nanti, kalau Ibu
pulang pasti membawa banyak astor untuk
Sarah.”
Anak itu diam. Diam seolah mengiyakan apa yang aku katakan barusan.
****
Malam tiba. Sedikit gerimis. Pantas saja cuaca begitu panas sore tadi.
Sarah tidur dikamarnya. Ia letakkan dua astor itu dimeja belajarnya.
Sebenarnya aku juga masih bertanya-tanya, mengapa Mbak Dalimah mengirim astor.
Malam ini aku tidak bisa tidur. Entahlah, perasaan gelisah ini terus
mengintai. Aku solat. Pukul 03.00, pukul 04.00. Akhirnya subuh. Subuh ini
begitu tenang. Aku mulai merasa ngantuk. Sarah belum bangun. Mungkin ia
kelelahan menangis semalam. Hampir saja aku tertidur. Pintu rumahku diketuk.
“Selamat pagi.”
“Pagi, Bapak.”
Dua orang polisi berseragam lengkap dengan pistol tergantung di samping
celananyadatang ke rumah pagi-pagi. Rasaku mulai tak nyaman. Aku ragu. Aku
tidak melakukan kesalahan apa-apa minggu ini. Kenpa ada polisi datang.
“Betul ini rumah Ibu Salamah ?”
“Iya, saya Salamah.”
“Dua orang mengalami kecelakaan di Jalan Pantura kemarin. Bapak Wagiran dan
Dalimah telah meninggal dunia dalam kecelakaan itu.”
DEGG....!!!
Jantungku serasa copot mendengar kalimat itu. Sarah..oh Sarah, kau jadi
anak Yatim Piatu.
Aku lemas. Dayaku habis. Para tetangga datang. Mereka mengucapkan bela
sungkawa. Mereka turut sedih. Aku tak tahu lagi harus bersikap bagaimana.
Sarah. Dimana anak itu. Aku berjalan menuju kamarnya.
“Sarah, sayang.. dimana kamu ?”
Dengan sisa kekuatan ini aku berjalan. Berteriak mencari dimana Sarah. Para
tetangga membujukku untuk tenang dan diam. Bagaimana mungkin aku bisa tenang.
Aku melihat Sarah di pojok kamar. Ia memojok, jongkok, dan menundukkan
kepalanya. Ia menangis.
“Sa...sarah..”
Aku mendekat dan perlahan meraih tangannya. Aku memeluknya.
“Tante....!!”
Sarah menangis sejadi-jadinya. Sudah bukan lagi menganak sungai, tapi
menjadi laut. Baju Sarah basah semua. Rambutnya acak-acakan. Matanya sembab,
merah. Badannya hangat. Aku memeluknya. Sekali lagi, lebih erat dan makin erat.
Aku tahu anak itu pasti hancur sekali hatinya.
“Sabar sayang. Ayah dan Ibu sudah tenang disana.”
“Tante, Sarah sudah tidak punya orangtua.”
Ia makin menangis tak terkendali.
****
Sudah seminggu setelah kepergian Mas Wagiran dan Mbak
Dalimah. Mereka dimakamkan Sabtu pagi.
Sarah kini sering diam saja di rumah. Sedah seminggu ini
dia tidak main bersama Vika.
Ia lebih sering duduk di teras sambil makan astor yang
dikirim Pak Pos beberapa hari yang lalu itu.
Satu, dua astor ia makan pelan-pelan. Ia sangat menikmati. Ia makan astor itu seperti
ia memakan setiap kasih sayang dari Ayah dan Ibunya.
Aku berusaha mendekati Sarah pelan-pelan. Aku duduk di
sebelah Sarah.
Sarah diam. Beberapa saat kemudian ia mulai berucap.
Lirih sekali.
“Tante, maukah tante menjadi Ibu Sarah ?”
Pelan-pelan aku letakkan kepala Sarah di dadaku.
“Iya sayang, tentu.”
Air mataku jatuh. Menetes membasahi kening Sarah. Sarah
menoleh. Aku tersenyum sambil menutupi tangis.
Aku menyayangi Sarah. Kuanggap dia seperti anakku.
Sarah dan astor-astornya kini hidup bersamaku.
Setiap minggu aku membeli satu kotak astor untuk Sarah. Dan akan habis
dalam seminggu. Lalu aku beli lagi. Lalu habis lagi, lalu beli lagi. Begitu
seterusnya.
Sarah Aulia, anak 12 tahun yang tetap menyukai astor.
** Selesai **