Minggu, 14 Desember 2014

CONTOH-CONTOH TEKS



1.      Teks Rekon
Pengajian di Bulan Ramadhan

            Ramadhan lalu, saya dan teman-teman mengadakan pengajian di Rt 04, Desa Rejosari, Donoyudan, Kalijambe, Sragen.
            Sejak pagi, para pemudi belanja ke pasar untuk membeli snack. Setelah itu, kami memasak dan menatanya. Para pemuda membersihkan musola, mendekor, mempersiapkan sound sistem sampai menyebar undangan.
            Pada saat acara, para jamaah yang hadir banyak sekali. Mulai bapak-bapak, ibu-ibu, anak-anak bahkan kakek-nenek. Sang Ustadz menyampaikan ceramah dengan penuh semangat. Para jamaah diajak untuk menghafal doa bersama-sama. Ustadz juga memberikan apresiasi yang baik kepada remaja yang menyelenggarakan acara itu.
            Setelah acara selesai, kami kerja bakti. Para remaja putri mengumpulkan kardus-kardus bekas snack, plastik dan semua sampah-sampah. Remaja putra melipat tikar, membereskan dekorasi dan sound sistem.
            Kami semua lelah, tapi kami puas.










2.     

Kamis, 30 Oktober 2014

Cerita Pendek-Astor Terakhir



Astor Terakhir

( Karya Tsausan Syadza Salsabiela )



Sore yang sungguh panas. Matahari seolah mengeluarkan seluruh dayanya untuk menyinari bumi siang tadi. Daun-daun banyak yang kering, berjatuhan tak berarti.  Sore itu, seorang anak mendapat kiriman dari Pak Pos, sebuah kotak sedikit besar. Anak itu nampak ceria sekali mendapatkiriman itu.


“Selamat sore, betul ini rumah Dik Sarah ?” tanya Pak Pos ramah.

Matanya seperti menahan sesuatu. Terlihat sembab seperti habis menangis.

“Iya, saya Sarah Pak, ada apa ?” jawab Sarah.

“Ini, ada paket dari Jakarta, atas nama Wagiran dan Dalimah untuk Sarah Aulia.”

“Betul, itu dari Bapak dan Ibu, untuk Sarah ? Sini..yeeee, asyikkk… Sarah dapat paket.”


Anak itu tampak ceria sekali. Setelah tanda tangan dan menerima paket, Sarah langsung masuk rumah. Ia meningalkan mainannya di halaman. Tante sedang tidak di rumah. Jadi Sarah melakukan semua sendiri. Sarah memang bukan anak manja, ia sangat tanggap dan cepat dalam menangani sesuatu.



****



Namanya Sarah Aulia. Usianya 12 tahun. Sudah 7 tahun dia tinggal bersamaku. Dia anak kakakku. Kakakku, Mbak Dalimah tinggal di Jakarta. Bekerja disana bersama suaminya sejak Sarah kecil.

Sarah adalah anak yang baik. Hatinya lembut. Perawakannya tidak terlalu besar dan tidak terlalu kecil. Sehari-hari ia membantuku membereskan rumah. Biasanya sepulang sekolah.


 Sarah masih duduk di bangku kelas 6  Sekolah Dasar. Bersama Vika ia habiskan waktunya untuk bermain. Sarah anak yang ceria. Ia supel sekali. Mudah bergaul, pemberani dan mempunyai mental yang kuat. Pernah beberapa kali aku tak di rumah. Sarah didatangi Mas Zaim, mantan suamiku. Ia mengamuk karena tidak terima dengan pembagian harta gonogini pasca perceraian kami tahun lalu. Sarah dengan berani menghadapinya, mengatakan bahwa aku tidak ada dan kami juga tidak punya uang. Tetanggaku yang menyaksikan, ngeri katanya, ia ceritakan semua padaku.


Sarah oh sarah anak yang baik hati. Dia suka sekali makan Astor. Sudah tiga kali lebaran ini Sarah melahap semua astor yang ada di rumah. Maklum,  ayah dan ibunya selalu membawakan makanan itu untuknya. Mereka tahu betul apa yang disukai oleh anaknya. Meski dia sangat suka astor, Sarah juga tidak enggan berbagi dengan kawannya. Pernah suatu ketika, astor-astor dari ibunya tinggal 5 batang. Vika datang menghampirinya untuk bermain. Aku tak menyuruhnya, memberi aba-aba atau intruksi. Sarah dengan sukarela membagi astor itu.


Mbak Dalimah dan suaminya memang merantau. Mereka adalah tulang-tulang kuat pengais rejeki di Ibukota. Ini adalah tahun ke 7 Sarah berlebaran denganku. Mbak Dalimah tidak bisa pulang lebaran kali ini. Ada pekerjaan yang mengharuskannya untuk tetap tinggal disana. Sarah Aulia sangat sedih hatinya.


Sudah setahun ini ia menantikan kedatangan Ayah dan Ibunya. Mereka menjanjikan sesuatu pada Sarah. Ya, tentu saja astor. Mbak Dalimah berjanji akan membawakan banyak astor untuk Sarah. Karena ia akan pulang terlambat. Dua hari setelah hari raya.


Sore yang ramai. Penuh hiruk pikuk orang-orang yang mempersiapkan lebaran besok. Sarah dan aku hanya mempersiapkan dua porsi opor ayam. Aku hanya memasak sedikit. Sengaja memang. Sarah melarangku masak terlalu banyak. Ia ingin menikmati masakan dari Ibunya. Mbak Dlimah memang jago masak opor ayam. Sarah akan makan banyak sekali jika ibunya yang memasak.


Hari raya Idul Fitri telah tiba. Benar. Aku dan Sarah hanya merayakan berdua saja. Rabu nanti Mbak Dalimah dan suaminya akan tiba disini. Aku juga menantikannya. Sama halnya dengan Sarah. Dia adalah kakak yang baik buatku. Dialah yang membiayai pendidikanku sewaktu Sma dulu.

Kami menunggu, jam demi jam. Sehari jadi dua hari. Dan akhirnya sudah hari Rabu. Aku dan Sarah menunggu didepan rumah. Kami menantikan telpon berdering, tentu dari Mbak Dalimah. Atau taksi yang berhenti di depan rumah. Sarah terus-terusan bertanya kapan Ibu pulang. Aku hanya menjawab, sebentar lagi sayang. Sabar. Begitu terus. 


Hari sudah gelap. Jalan di depan rumah ramai sekali. Orang-orang hilir mudik kesana kemari. Tentu saja, bersilaturahmi ke sanak saudara. Kami memang sudah tidak mempunyai kerabat lagi di Jawa ini. Kakakku yang lain, mereka tinggal di Kalimantan dan Suamtera. Sudah beberapa kali memang mereka tak pulang saat lebaran. Mereka sudah mempunyai keluarga sendiri disana. Memang setelah ayah dan ibu kami tiada, sudah tiada daya tarik  bagi mereka untuk pulang ke Jawa.


Hari ini hari Kamis. Belum juga terdengar kabar dari kakaku. Sarah terus menunggu di depan rumah. Menyakan ada telfon atau tidak. Begitu terus. Tapi tetap saja, tidak ada kabar sama sekali. Kasihan Sarah. Ia pasti sangat merindukan Ibunya. Juga ia menantikan astornya. Sesungguhnya, aku juga sudah membelikan astor untuknya. Tapi ia tetap tidak mau. Katanya iaingin astor dari ibunya.

Sore yang melelahkan. Seharian aku dan Sarah hanya menunggu mereka pulang. Waktu menunjukan pukul 21.00.


“Tante, apakah Ibu akan pulang ? kapan ?”

“Tentu Sarah, Ibu akan pulang. Mungkin dia masih dalam perjalanan. Sabar sayang”


Sarah menglendot di pangkuanku. Wajahnya mulai putus asa. Sebetulnya aku juga kasihan pada bocah ini.  Sudah empat hari menunggu ibunya.


“Sarah, ayo sayang, ini sudah terlalu malam. Sarah tidur dulu. Nanti kalau ibu pulang, tante bangunkan.”

“Iya tante.”


Dengan langkah malas Sarah menuju kamarnya. Aku duduk di teras. Mulai teringat masa-masa aku dan Mbak Dalimah dulu saat bersama. Kita sering mencari ikan di sungai, mencarikayu bakar, dan daun-daun di ladang dekat rumah. Mabk Dalimah sangat cantik. Banyak orang yang suka padanya dulu. Hanya ayah Sarah yang diterima.

“Oh..tidak-tidak. Kenapa aku tiba-tiba teringat kenangan-kenangan itu.” Batinku.


 Firasatku mulai tidak enak.  Aku berlalu saja. Kutinggalkan rasa itu di teras rumah. mungki  rasa itu muncul karena aku terlalu lelah. Ya, aku memang lelah. Sangat lelah.

Hari ini sudah hari Jumat. Mbak Dalimah belum juga pulang. Sarah sepertinya juga sudah lupa akan penantiannya. Ia sedang bermain dengan Vika di depan rumah. Aku mendengar obrolan mereka dari teras.


“Ibuku akan pulang sebentar lagi, ia akan bawa banyak astor untukku. Nanti kamu akan kuberi satu kotak deh.”

“Benarkah, terima kasih Sarah, kamu baik sekali.”

“Iya, tentu saja.  Kau adalah temanku Vika.”

Ternyata aku salah. Sarah masih sangat menantikan Ibunya. Meski dari luar ia terlihat kuat. Tapi sesungguhnya ia sangat lemah dan rapuh. Aku tahu dia sangat rindu ibunya. Sejak semalam aku berusaha menghubungi ibunya. Tapi tidak bisa. Aku sms tidak dibalas. Ada apa dengan Mbak Dalimah. Tapi aku berusaha,menutupinya dari Sarah. Aku tak mau ia ikut cemas.

Hari ini aku akan pergi pengajian. Pengajian rutin setiap Jumat. Sarah sudah biasa aku tinggal di rumah sendiri. Biasanya setelah asar sampai maghrib.


“Sarah, tante berangkat dulu ya.”

“Iya tan.”

Aku berlalu meninggalkan Sarah yang sedang bermain.

Sore yang mendung. Waktu menunjukkan pukul 16.53. Sore itu, seolah tidak ada angin yang berhembus. Cuaca panas. Sebentar lagi hujan akan turun.

Sebuah sepeda motor berhenti di depan rumah. Seseorang turun dari motor itu, memakai baju berwarna orange. Rompi orange, helem orange. Semua orange. Dia mengeluarkan sebuah kotak dari kantong yang tergantung di motornya.



“Selamat sore, betul ini rumah Dik Sarah ?”

“Iya, saya Sarah Pak.”

“Ini ada paket untuk Sarah Aulia dari Wagiran dan Dalimah.”

“Iya, itu ayah dan Ibu. Asyiikk... Sarah dapat paket.”

“Terima kasih pak.”


Sarah berlalu begitu saja. Ia masuk rumah dan langsung membuka paket itu. Betapa senangnya bocah itu.

“Apa isinya ?” Batin Sarah.

“Astor!!..asyiik Sarah dapet astor dari ibu.”


Anak itu senang sekali. Sarah berlari kesana kemari. Meloncat-loncat. Berteriak.

Aku memang sudah pulang ketika Sarah mendapat paket. Vika yang memanggilku di masjid.

Aku turut senang melihat Sarah mendapat astor itu. Tiba-tiba dalam kesenangan itu Sarah terhenti. Ia menatapku.


“Tante, kenapa hanya dua astor ?”

Aku terdiam.

“Mereka berjanji akan membawakan banyak astor untuk Sarah kan ?”

Lama-lama Sarah terisak-isak. Matanya mulai berjaca-kaca. Ia taksanggup membendung sungai kecil dari matanya itu. Sarah menangis. Ia kecewa karena hanya mendapat sedikit astor dari Ibunya.

Jujur saja aku juga tidak tahu, kenapa Mbak Dalimah hanya memberisedikit astor untuk Sarah.

“Tidak apa Sarah.”


Aku membelai rambutnya.


“Sarah, dengar tante, mungkin Ibu baru sempat mengirim dua astor sebab jika terlalu banyak maka tidak muat ditaruh di kantongnya Pak Pos. Coba tadi Sarah lihat, kantong Pak Pos hanya dua, tidak terlalu besar pula. Nanti, kalau Ibu pulang pasti  membawa banyak astor untuk Sarah.”

Anak itu diam. Diam seolah mengiyakan apa yang aku katakan barusan.




****





Malam tiba. Sedikit gerimis. Pantas saja cuaca begitu panas sore tadi.

Sarah tidur dikamarnya. Ia letakkan dua astor itu dimeja belajarnya. Sebenarnya aku juga masih bertanya-tanya, mengapa Mbak Dalimah mengirim astor.

Malam ini aku tidak bisa tidur. Entahlah, perasaan gelisah ini terus mengintai. Aku solat. Pukul 03.00, pukul 04.00. Akhirnya subuh. Subuh ini begitu tenang. Aku mulai merasa ngantuk. Sarah belum bangun. Mungkin ia kelelahan menangis semalam. Hampir saja aku tertidur. Pintu rumahku diketuk. 


“Selamat pagi.”

“Pagi, Bapak.”


Dua orang polisi berseragam lengkap dengan pistol tergantung di samping celananyadatang ke rumah pagi-pagi. Rasaku mulai tak nyaman. Aku ragu. Aku tidak melakukan kesalahan apa-apa minggu ini. Kenpa ada polisi datang.


“Betul ini rumah Ibu Salamah ?”

“Iya, saya Salamah.”

“Dua orang mengalami kecelakaan di Jalan Pantura kemarin. Bapak Wagiran dan Dalimah telah meninggal dunia dalam kecelakaan itu.”


DEGG....!!!


Jantungku serasa copot mendengar kalimat itu. Sarah..oh Sarah, kau jadi anak Yatim Piatu.

Aku lemas. Dayaku habis. Para tetangga datang. Mereka mengucapkan bela sungkawa. Mereka turut sedih. Aku tak tahu lagi harus bersikap bagaimana. Sarah. Dimana anak itu. Aku berjalan menuju kamarnya.


“Sarah, sayang.. dimana kamu ?”


Dengan sisa kekuatan ini aku berjalan. Berteriak mencari dimana Sarah. Para tetangga membujukku untuk tenang dan diam. Bagaimana mungkin aku bisa tenang. Aku melihat Sarah di pojok kamar. Ia memojok, jongkok, dan menundukkan kepalanya. Ia  menangis.


“Sa...sarah..”


Aku mendekat dan perlahan meraih tangannya. Aku memeluknya.


“Tante....!!”


Sarah menangis sejadi-jadinya. Sudah bukan lagi menganak sungai, tapi menjadi laut. Baju Sarah basah semua. Rambutnya acak-acakan. Matanya sembab, merah. Badannya hangat. Aku memeluknya. Sekali lagi, lebih erat dan makin erat. Aku tahu anak itu pasti hancur sekali hatinya.


“Sabar sayang. Ayah dan Ibu sudah tenang disana.”

“Tante, Sarah sudah tidak punya orangtua.”

Ia makin menangis tak terkendali.


****



Sudah seminggu setelah kepergian Mas Wagiran dan Mbak Dalimah. Mereka dimakamkan Sabtu pagi.

Sarah kini sering diam saja di rumah. Sedah seminggu ini dia tidak main bersama Vika.

Ia lebih sering duduk di teras sambil makan astor yang dikirim Pak Pos beberapa hari yang lalu itu.

Satu, dua astor ia makan pelan-pelan. Ia  sangat menikmati. Ia makan astor itu seperti ia memakan setiap kasih sayang dari Ayah dan Ibunya.

Aku berusaha mendekati Sarah pelan-pelan. Aku duduk di sebelah Sarah.

Sarah diam. Beberapa saat kemudian ia mulai berucap. Lirih sekali.


“Tante, maukah tante menjadi Ibu Sarah ?”

Pelan-pelan aku letakkan kepala Sarah di dadaku.

“Iya sayang, tentu.”


Air mataku jatuh. Menetes membasahi kening Sarah. Sarah menoleh. Aku tersenyum sambil menutupi tangis.

Aku menyayangi Sarah. Kuanggap dia seperti anakku.

Sarah dan astor-astornya kini hidup bersamaku.

Setiap minggu aku membeli satu kotak astor untuk Sarah. Dan akan habis dalam seminggu. Lalu aku beli lagi. Lalu habis lagi, lalu beli lagi. Begitu seterusnya.

Sarah Aulia, anak 12 tahun yang tetap menyukai astor.





** Selesai **


Selasa, 14 Oktober 2014

Paragraf Deskripsi


PRAKATA

Segala  puji  bagi Allah Swt.  Shalawat  dan  salam  selalu tercurahkan kepada Rasulullah SAW.  Berkat  limpahan  dan rahmat-Nya saya mampu  menyelesaikan  tugas  makalah ini guna memenuhi tugas  mata kuliah Dasar-dasar Menulis.
Dalam makalah ini saya akan membahas tentang karangan deskipsi. Semoga makalah saya dapat bermanfaat untuk menambah pengetahuan mengenai Dasar-dasar Menulis.
Saya menyadari bahwa makalah yang saya susun masih banyak kekurangan dan kesalahan. Maka dari itu, saya meminta kritik dan saran yang membangun dari para pembaca agar saya dapat memperbaiki kesalahan saya. Semoga makalah ini dapat bermanfaat.




                                                                                                            Penyusun




Senin, 13 Oktober 2014





LOLONGAN SERIGALA SIANG

Oleh : Tsausan Syadza Salsabiela




Raja siang masih membusungkan dadanya

menelisik ketiak-ketiak manusia berdasi dan bermersi

begitu juga pemakan nasi aking dan sambel trasi


Di mana rakyat boleh mengadu ?

Di mana rakyat boleh merengek ?

Di mana rakyat boleh menangis ?

Dimana rakyat boleh menangis, memelas manja,

 meminta pengisi perut yang kian membusung penuh angin ?  


Di leher bapaknya

Di ketiak ibunya

Di pantat neneknya !!

lalu di mana negara yang menjamin kehidupan rakyatnya,

Katamu, bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung 

di dalamnya dikuasai negara dan dimanfaatkan sebesar-besarnya

untuk kemakmuran rakyat.

tapi,

Kau hanya menguasai

tak mau membagi

apa kau tidak melihat kami lapar di trotoar

mungkin Kau tidak mendengar lolongan kami di siang hari,

apalah artiku ini.. ?? 

Kau menghampiriku saat kau butuh kupilih 

untuk duduk di kursi itu.

lalu setelah itu, 

kau lupa padaku,,

kupanggil saja katamu aku mengganggu..

Lalu aku ini apa ??

kalau begitu kenapa kau tak buang aku saja ke planet Mars

yang kudengar sudah ada air di sana

Biarkan aku hidup dengan para alien..

setidaknya mereka masih mau kupanggil 

masih mau berbagi

masih mau melihat

masih mau mendengar

dan tidak menguasai hidupku 


Tenang saja,

ini hanya lolongan serigala di siang hari.