Minggu, 22 Maret 2015

Kedudukan dan Hakikat Kritik Sastra

      
   Kedudukan Kritik Sastra
      Istilah “sastra” atau “kesusastraan” mengandung dua makna, yaitu (1) sastra atau kesusastraan kreatif yang berwujud karya sastra (tulisan para pengarang), seperti novel, cerpen, drama, dan puisi, (2) sastra atau kesusastraan ilmiah, yang terdiri dari tiga bidang studi yaitu (a) teori satra, (b) sejarah sastra, dan (c) kritik sastra.
      Teori sastra adalah bidang studi sastra yang yang membicarakan pengertian-pengertian sastra, hakikat sastra, prinsip-prinsip sastra, latar belakang sastra, jenis-jenis sastra, susunan karya sastra, dan prinsip penilaian karya sastra. Sejarah sastra adalah bidang studi sastra yang membicarakan perkembangan sastra sejak awal muncul sampai pada masa sekarang. Dalam sejarah sastra inilah orang dapat melihat timbul dan tenggelamnya suatu jenis sastra (genre) tertentu, bagaimana aliran yang satu mati dan digantikan oleh aliran yang lain, bagaimaa gaya pada suatu waktu menjadi mode yang sangat digemari kemudian tenggelam dan muncul gaya baru. Kritik sastra adalah bidang studi sastra yang membicarakan karya sastra secara langsung dengan cara menganalisis, menginterpretasi, dan menilai karya sastra.
      Ketiga bidang tersebut berhubungan secara timbal balik. Teori sastra dapat menjadi patokan bagi pelaksanaan sejarah sastra dan kritik sastra. Sejarah sastra dapat menjadi pegangan bagi pelaksanaan kritik sastra dan hasilnya dapat menjadi masukan bagi teori sastra. Kritik sastra dapat menjadi masukan bagi penyusunan sejarah dan teori sastra. Selain itu, masing-masing bidang studi tidak dapat berdiri sendiri dan tidak dapat dipisahkan. Sejarah sastra tidak dapat menjalankan tugasnya dengan baik tanpa memperoleh bantuan teori sastra. Misalnya, penggolongan ke dalam periode atau angkatan tidak dapat dilakukan tanpa pengetahuan tentang teori gaya bahasa, latar belakang, struktur, aliran, dan sebagainya. Teori sastra tidak dapat menyusun suatu teori tentang teknik cerita yang baik, teori tentang gaya bahasa yang baik, tanpa bantuan suatu kritik sastra atas karya-karya sastra. Begitu pula sejarah sastra, akan sia-sia menyusun periodisasi atau aliran sastra tanpa bantuan kritik sastra.
      Mengingat hubungan yang timbal-balik dan saling berjalinan di antara ketiga cabang ilmu sastra itu, maka kedudukan seorang kritikus sastra yang bergerak dalam kritik sastra sangat penting. Ketepatan pendapatnya tentang karya-karya sastra akan membantu memajukan teori dan sejarah sastra. Atau bahkan mungkin karena pendapatnya yang serba baru, yang secara ilmiah dapat dipertanggungjawabkan, tidak mustahil melahirkan suatu teori baru tentang sastra dan penyusunan baru sejarah sastra. Dengan demikian, kritik sastra (tulisan kritikus sastra) menempati kedudukan yang penting untuk memajukan ilmu sastra, terutama teori sastra dan sejarah sastra.

Pengertian Kritik Sastra

1.   Kritik sastra merupakan salah satu cabang studi sastra yang penting dalam kaitannya dengan ilmu sastra dan penciptaan sastra. Tidak seperti halnya kuantitas penciptaan sastra, penerbitan buku kritik sastra selama ini terbatas. Keterbatasan itu, antara lain, juga dipengaruhi oleh terbatasnya kritikus sastra Indonesia modern. Kritik sastra merupakan salah satu studi sastra. Studi sastra meliputi tiga bidang, yakni: teori sastra, sejarah sastra dan kritik sastra (Wellek dan Warren, 1968:27).
2.   Istilah kritik sastra telah dikenal pada sekitar tahun 500 SM. Kata kritik berasal dari bahasa Yunani krites yang berarti “seorang hakim”, kata kritesmerupakan kata benda, sedang kata kerjanya krinein yang berarti “menghakimi”, kriterion berarti “dasar penghakiman”, dan kritikos berarti“hakim karya sastra”(Hardjana, 1981:2).
3.   Dalam sastra Inggris, pada abad ke-17, istilah critic digunakan untuk menunjukkan orang yang melakukan kritik (kritikus) dan perbuatan kritik (kritik sastra). Kemudian muncul istilah criticm, yang dipakai pertama kali oleh John Dryden (1677).
4.   H.B. Jassin mengemukakan definisi kritik sastra adalah pertimbangan baik atau buruknya karya sastra, penerangan dan penghakiman karya sastra. Definisi tersebut rupanya benar-benar diterapkan oleh H.B. Jassin dalam bukunya Analisa dan Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esai. Jadi, kritik sastra itu berarti penghakiman terhadap karya sastra. Menghakimi itu berarti menentukan baik berarti menentukan baik atau buruknya karya sastra, dalam arti bernilai seni tinggi atau kurang bernilai seni karya sasta itu (Jassin, 1959:45)
5.   Abrams (1971:35)memberi definisi kritik sastra adalah studi sastra yang berhubungan dengan pendefinisian, penggolongan, penguraian, dan penilaian karya sastra. Jadi, dalam melakukan kritik terhadap sebuah karya sastra, peneliti menetapkan pengertian, menggolongkan, menguraikan atau memecah-mecah disertai tafsiran-tafsiran, dan akhirnya menerangkan karya sastra tersebut bagaimana kelebihan-kelebihannya dan cacat-cacatnya dengan alasan-alasan atau komentar-komentar yang dapat dipertanggungjawabkan.
6.           Menurut Hardjana dalam bukunya Kritik Sastra: Sebuah Pengantar (1981), mengemukakan definisi kritik sebagai hasil usaha pembaca dalam mencari dan menentukan nilai hakiki karya sastra lewat pemahaman dan penafsiran sistematik yang dinyatakan dalam bentuk tertulis. Menurut Hardjana, kritik sastra bukanlah hasil kerja yang luar biasa, tetapi dengan sendirinya melekat dalam pengalaman sastra seseorang. Seorang pembaca karya sastra dapat membuat kritik sastra yang baik, apabila dia betul-betul berminat pada sastra, terlatih kepekaan citranya, dan mendalami karya sastra.
7.   Sesuai dengan definisi yang dikemukakan H.B. Jassin, Pradopo (1967:9-10)menyatakan bahwa kritik sastra itu studi sastra untuk menghakimi karya sastra, untuk memberi penilaian dan keputusan mengenai bermutu atau tidaknya karya sastra itu. Dalam kritik sastra, suatu karya dianalisis unsur-unsurnya atau norma-normanya, diselidiki, diperiksa satu persatu unsur-unsurnya, kemudian ditentukan berdasarkan hukum-hukum penilaian karya sastra, bernilai atau kurang bernilai karya sastra itu.
8.   Pendapat H.B. Jassin itu sesuai dengan definisi Hudson. Istilah kritik dalam artinya yang tajam adalah penghakiman yang dilakukan oleh seseorang kritikus. Kritikus itu dipandang sebagai seorang ahli yang memiliki suatu kepandaian khusus untuk membedah karya sastra dan memeriksa karya sastra mengenai kebaikan-kebaikannya, cacat-cacatnya, serta menyatakan pendapatnya tentang hal tersebut (Hudson, 1955:260).




      Istilah kritik sastra yang melekat pada Kritik Sastra Indonesia sudah tidak asing lagi bagi mahasiswa sastra dan peminat sastra indonesia. Istilah tersebut dapat dijelaskan secara singkat dan populer, tetapi dapat juga dipaparkan secara panjang lebar dan ilmiah. Mungkin juga istilah tersebut tidak terpahami secara definitif, tetapi terpahami prinsip-prinsipnya seperti yang diterapkan dan dikembangkan oleh orang-orang yang berkiprah di dunia pengetahuan sastra terapan seperti para wartawan, kolumnis, peresensi buku, kritikus dan esais pada umumnya.
      Kritik sastra merupakan salah satu cabang studi sastra yang langsung berhadapan dengan karya sastra secara langsung dengan menekankan pada aspek penilaiannya terhadap karya sastra tersebut.
      Dengan demikian kritik sastra dapat diartikan sebagai salah satu objek studi sastra (cabang ilmu sastra) yang melakukan analisis, penafsiran dan penilaian terhadap teks sastra sebagai karya seni. Namun, pengertian atau definis tersebut bukanlah satu-satunya pengertian mengenai kritik sastra, masih banyak pendapat yang disampaikan oleh para kritikus sastra atau bahkan sastrawan yang mencoba merumuskan mengenai pengertian kritik sastra.
      Kegiatan kritik sastra mula-mula dilakukan oleh bangsa Yunani Xenophanes dan Heraclitus. Kedua bangsa tersebut mengecam pujangga agung Homerus yang gemar mengisahkan cerita bohong dan tidak senonoh tentang dewa-dewi Yunani. Peristiwa kritik ini kemudian diikuti oleh tokoh-tokoh lainnya, seperti Aristophanes (450-385 SM), Plato (427-347 SM), Aristoteles (384-322 SM). Plato berpendapat bahwa karya sastra yang baik haruslah mengandung tiga unsur, yaitu: (1) memberikan ajaran moral yang tinggi, (2) memberi kenikmatan, dan (3) memberikan ketepatan dalam wujud pengungkapannya.Aristoteles mulai mempertentangkan karya sastra yang bersifat sosial dengan yang bernilai seni. Perkembangan kritik sastra Yunani Klasik menemukan jatidirinya setelah lahirnya Poetica yang merupakan tulisan Aristoteles. Tulisan tersebut merupakan sumber pemikiran sastra selanjutnya, terutama zaman Renaisans di Eropa.
     
       
                Berdasarkan definisi-definisi atau batasan-batasan tersebut diatas jelas bahwa kritik sastra merupakan kegiatan penilaian terhadap karya sastra. Dalam realitanya, setiap karya sastra bukan materi yang ada dengan sendirinya, melainkan materi yang diciptakan oleh pengarang. Maka, kritik sastra dapat mencakup masalah kepengarangan yang bersangkutan dengan hakikat karya sastra, atau mencakup masalah hubungan sastra dengan kemanusiaan. Meskipun perlu ditegaskan bahwa sasaran utama kritik sastra ialah karya sastra atau teks, bukan pengarangnya.






 Jenis Kritik Sastra



Kritik Teoritis
Kritik sastra yang berusaha (bekerja) atas dasar prinsip-prinsip umum untuk menetapkan seperangkat istilah yang berhubungan, pembedaan-pembedaan, dan kategori-kategori, untuk diterapkan pada pertimbangan-pertimbangan dan interpretasi-interpretasi karya sastra maupun penerapan “kriteria” (standar atau norma) untuk menilai karya sastra dan pengarangnya.



Kritik Terapan
Merupakan diskusi karya sastra tertentu dan penulis-penulisnya. Misalnya buku “Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esei” Jilid II (1962) dikritik sastrawan-sastrawan dan karyanya, diantaranya Mohammad Ali, Nugroho Notosusanto, Subagio Sastrowardoyo, dan lain sebagainya



Kritik Judisial
Adalah kritik sastra yang berusaha menganalisis dan menerangkan efek-efek karya sastra berdasarkan pokoknya, organisasinya, teknik, serta gayanya, dan mendasarkan pertimbangan-pertimbangan individu kritikus atas dasar standar-standar umum tentang kehebatan dan keluarbiasaan sastra.
Penilaia terhadap karya dan pengarang berdasarkan ukuran yang telah ditetapkan sebelumnya.



Kritik Induktif
Kritik sastra yang menguraikan bagian-bagian karya sastra berdasarkan fenomena-fenomena yang ada secara objektif.



Kritik induktif meneliti karya sastra sebagaimana halnya ahli ilmu alam meneliti gejala-gejala alam secara objektif, tanpa menggunakan standar-standar yang tetap yang berasal dari luar dirinya.
Kritik ini tidak mau mengakui adanya aturan-aturan atau ukuran-ukuran yang ada sebelumnya.



Kritik Impresionistik
Adalah kritik sastra yang berusaha menggambarkan dengan kata-kata, sifat-sifat yang terasa dalam bagian-bagian khusus atau dalam sebuah karya sastra dan menyatakan tanggapan-tanggapan (impresi) kritikus yang ditimbulkan secara langsung oleh karya sastra.



Kritik ekspresionistik
Kritik yang menekankan kepada kebolehan pengarang dalam mengeksresikan atau mencurahkan idenya ke dalam wujud sastra. 
Kritik ini cenderung menimbang karya sastra dengan memperlihatkan kemampuan pencurahan, kesejatian, atau visi penyair yang secara sadar atau tidak tercermin pada karya tersebut



Kritik Mimetik
Kritik yang bertolak pada pandangan bahwa karya sastra merupakan tiruan atau penggambaran dunia dan kehidupan manusia. Kritik ini cenderung mengukur kemampuan suatu karya sastra dalam menangkap gambaran kehidupan yang dijadikan suatu objek



Kritik Pragmatik
Kritik yang disusun berdasrkan pandangan bahwa sebuah karya sastra disusun untuk mencapai efek-efek tertentu kepada pembaca, seperti efek kesenangan, estetika, pendidikan, dan sebagainya. Model kritik ini cenderung memberikan penilaian terhadap suatu karya berdasarkan ukuran keberhasilannya dalam mencapai tujuan tersebut.



Kritik Ekspresif
Kritik yang menekankan kepada kebolehan pengarang dalam mengekspresikan atau mencurahkan idenya ke dalam wujud sastra. Kritik ini cenderung menimbang karya sastra dengan memperlihatkan kemampuan pencurahan, kesejatian, atau visi penyair yang secara sadar atau tidak tercermin pada karya tersebut.



Kritik Objektif
Suatu kritik sastra yang menggunakan pendekatan bahwa suatu karya sastra adalah karya yang mandiri. Kritik ini menekankan pada unsur intrinsik.
Tidak perlu dilihat dari segi pengarang, pembaca, atau dunia sekitarnya.
Rincian dari kritik sastra penilaian, yakni:
Kritik sastra ilmiah; dilakukan dengan pendekatan ilmiah.
Kritik sastra estetis; menggunakan pendekatan estetis, yang mengutamakan kritik dari segi keindahan suatu karya sastra.
Kritik sastra sosial; menggunakan pendekatan sosiologis, karya sastra tsb ditelaah dengan segi-segi sosial kemasyarakatan yang berada disekitar kelahiran karya tsb, serta sumbangan yang diberikan terhadap pembinaan tata keidupan masyarakat.


Tujuan kritik sastra
1. Mempertimbangkan/menjelaskan ttg karya sastra serta prinsip-prinsip terpenting tentang karya sastra tsb kpd penikmat yang kurang memahami.
2. Menerangkan seni imajinatif shg mampu memberi jawaban terhadap hal-hal yang dipertanyakan pembaca.
3. Membuatkan aturan-aturan untuk para pengarang dan mengatur selera pembaca.
4. Menginterprestasikan suatu karya sastra thd pembaca yang tidak mampu memberikan apresiasi.
5. Memberikan keputusan atau pertimbangan dengan ukuran penilaian yang telah ditetapkan.
6. Menemukan dan mendapatkan asas yang dapat menerangakan dasar-dasar seni yang baik.


MANFAAT KRITIK SASTRA
Berguna bagi perkembangan sastra
Berguna untuk penerangan bagi pembaca
Berguna bagi ilmu sastra itu sendiri
Memberi sumbangan pendapat untuk menyusun sejarah sastra
Peran Kritikus Sastra
Menjalankan disiplin pribadinya sebagai jawaban terhadap karya sastra tertentu. Berbeda dengan seorang estetikus, karena kritikus adalah orang yang terlatih kemampuannya dalam memisahkan hal-hal yang bersifat emosional dengan hal-hal yang rasional.
Bertindak sebagai pendidik yang berupaya membina dan mengembangkan kejiwaan suatu masyarakat.
Bertindak sebagai hakim yang bijaksana, yang dapat membangkitkan kesadaran serta menghidupkan suara hati nurani, pembinaan akl budi, ketajaman pikiran, dan kehalusan cita rasa.








Klasifikasi Teori Sastra



Klasifikasi
Abrams



TEORI-TEORI OBJEKTIF
Strukturalisme
New Criticism
Deconstruksi dan Post-Strukralisme



1.1 Struktural Formalis
Istilah Formalisme (dari kata Latin forma yang berarti bentuk, wujud) berarti cara pendekatan dalam ilmu dan kritik sastra yang mengesampingkan data biografis, psikologis, ideologis, sosiologis dan mengarahkan perhatian pada bentuk karya sastra itu sendiri. Para Formalis meletakkan perhatiannya pada ciri khas yang membedakan sastra dari ungkapan bahasa lainnya. Istilah Strukturalisme acap kali digunakan pula untuk menyebut model pendekatan ini karena mereka memandang karya sastra sebagai suatu keseluruhan struktur yang utuh dan otonom berdasarkan paradigma struktur kebahasaannya.



Pelopor Struktural Formalis
Kaum Formalis Rusia tahun 1915-1930 dengan tokoh-tokohnya seperti Roman Jakobson, Rene Wellek, Sjklovsky, Eichenhaum, dan Tynjanov
Rene Wellek dan Roman Jakobson beremigrasi ke Amerika Serikat
Sumbangan penting kaum formalis bagi ilmu sastra adalah secara prinsip mereka mengarahkan perhatian kita kepada unsur-unsur kesastraan dan fungsi puitik. Sampai sekarang masih banyak dipergunakan istilah teori sastra dan analisis sastra yang berasal dari kaum Formalis.



Prinsip Dasar Struktural Formalis
Prinsip keseluruhan (wholness) bahwa bagian-bagian atau unsurnya menyesuaikan diri dengan seperangkat kaidah intrinsik yang menentukan baik keseluruhan struktur maupun bagian-bagiannya.
Prinsip transformasi (transformation), struktur itu menyanggupi prosedur transformasi yang terus menerus memungkinkan pembentukan bahan-bahan baru
Prinsip keteraturan yang mandiri (self regulation) yaitu tidak memerlukan hal-hal di luar dirinya untuk mempertahankan prosedur transformasi, struktur itu otonom terhdap rujukan sistem lain



Langkah Kerja
Membangun teori struktur sastra sesuai dengan genre yang diteliti. Struktur yang dibangun harus mampu menggambarkan teori struktur yang handal, sehingga mudah diikuti oleh peneliti sendiri. Peneliti perlu memahami lebih jauh hakikat setiap unsur pembangun karya sastra. 
Peneliti melakukan pembacaan secara cermat, mencatat unsur-unsur struktur yang terkandung dalam bacaan itu. Setiap unsur dimasukkan ke dalam kartu data, sehingga memudahkan analisis. Kartu data sebaiknya disusun alpabetis, agar mudah dilacak pada setiap unsur. 
Unsur tema, sebaiknya dilakukan terlebih dahulu sebelum membahas unsur lain, karena tema akan selalu terkait langsung secara komprehensif dengan unsur lain.



Langkah Kerja
Setelah analisis tema, baru analisis alur, konflik, sudut pandang, gaya, setting, dan sebagainya andaikata berupa prosa. 
Yang harus diingat, semua penafsiran unsur-unsur harus dihubungkan dengan unsur lain, sehingga mewujudkan kepaduan makna struktur. 
Penafsiran harus dilakukan dalam kesadaran penuh akan pentingnya keterkaitan antar unsur. Analisis yang meninggalkan kepaduan struktur, akan bias dan menghasilkan makna yang mentah. 



Kelemahan Strukturalisme
Sebagai sebuah model teori kritik, strukturalisme bukan tanpa kelemahan. Ada beberapa kelemahan yang perlu direnungkan bagi pengeritik struktural, yaitu melalui struktural karya sastra seakan-akan diasingkan dari konteks fungsinya sehingga dapat kehilangan relevansi sosial, tercerabut dari sejarah, dan terpisah dari aspek kemanusiaan.



1.2 Struktural Genetik

Muncul sebagai wujud ketidakpuasan terhadap teori struktural yang melihat karya sastra sebagai sesuatu yang otonom
Pendirinya adalah Taine dan dikembangkan oleh Lucian Goldman di Paris
Prinsip Dasarnya: Karya sastra tidak sekedar fakta imajinatif dan pribadi, melainkan juga sebagai cerminan atau rekaman budaya, suatu perwujudan pikiran tertentu pada saat karya diciptakan



1.3 Struktural Dinamik
Merupakan jembatan penghubung antara teori struktural formalis dan teori semiotik
Hampir sama dengan struktural genetik (mengaitkan dengan asal-usul teks) tetapi penekanannya berbeda, Struktural Dinamik menekankan pada struktur, tanda, dan realitas
Tokoh-tokohnya : Julia Cristeva dan Roland Bartes (Strukturalisme Prancis)



2. Semiotik Sastra
Dari kata semeion = tanda yaitu ilmu yang mempelajari tanda-tanda, sistem-sistem tanda, dan proses suatu tanda diartikan (Hartoko, 1986:131)
Ilmu yang mempelajari berbagai objek, peristiwa, atau seluruh kebudayaan sebagai tanda
Tokohnya:
Ferdinand de Saussure (Prancis)
Jurij Lotman (Rusia)
Charles Sanders Pierce (USA)



3. New Criticism
Muncul tahun 1920-1960. John Crowe Ransom (USA) The New Criticism.
Tokoh lainnya: I. A. Richard, T. S. Eliot, Cleanth Brooks, Robert Penn Warren, Allen Tate, R. P. Blackmur, William K. Wimsatt
Prinsip dasarnya hampir sama dengan Formalis, namun contoh karya mereka lebih mengarah kepada puisi sehinggga jenis karya sastra yang lainnya merasa diabaikan.



Deconstruksi dan Post-Strukralisme


"Dekonstruksi" adalah sebuah istilah yang digunakan untuk menyebut cara membaca sebuah teks (sastra maupun filsafat) yang berdasarkan pada pola pandangan filsafat Jacques Derrida. Derrida sendiri dipengaruhi pandanganl fenomenologi (Heidegger) dan skeptisisme (Nietzche). Pandangan ini menentang klaim strukturalisme yang menganggap sebuah teks mengandung makna yang sah dalam struktur yang utuh di dalam sistem bahasa tertentu. Dekonstruksi disebut juga sebagai 


Poststructuralism (Pascastrukturalisme) karena membangun teorinya atas dasar konsep-konsep strukturalisme-semiotik Ferdinand de Saussure.
Aliran ini mula-mula dikembangkan di Perancis oleh kelompok penulis Tel Quel dengan tokoh perintis antara lain Jacques Derrida dan Julia Kristeva



Rangkuman



Pada umumnya penekanan perhatian teori sastra pada studi teks dapat digolongkan ke dalam konsep strukturalisme, sekalipun konsep ini sangat beragam jangkauan, kedalaman, dan model analisisnya. Strukturalisme, bagaimanapun, merupakan bidang teori sastra yang sudah menjadi urutan utama kebudayaan intelektual ilmu sastra.



Pendekatan struktural dari segi tertentu membawa hasil yang sangat memuaskan. Usaha untuk memahami dan mengupas karya sastra atas dasar strukturnya memaksa peneliti sastra untuk membebaskan din dari berbagai konsep metode dan teknik yang sebenarnya berada di luar jangkauannya sebagai ahli sastra, seperti psikologi, sosiologi, sejarah, dan filsafat.



Sekalipun demikian, patut kita catat bahwa banyak teoretisi sastra tidak puas terhadap paradigma bahasa dalam pengkajian sastra. Teoretisi itu antara lain Lefevere (1977), Jameson (1981), Eagleton (1983), dan para pemikii (pascastrukturalisme Derrida, Lacan, Foucault, dll.)



Keberatan lain terhadap strukturalisme adalah sifatnya yang ahistoris; Strukturalisme menghapus sejarah manusia karena berambisi membangun universal yang menghapus pandangan individual.
strukturalisme juga bersifat anti humanis (Selden, 1991:70-71). 
Keberatan-keberatan itulah yang kemudian memunculkan aliran Pascastrukturalisme yang menentang setiap bentuk penyisteman yang mengabaikan keragaman kultural dan nilai-nilai kemanusiaan. Sekalipun tidak disebutkan di atas, patut dicatat bahwa konsep-konsep aliran Pascastrukturalisme; sangat mendukung dan memperkaya Teori Sastra Feminisme.



1 komentar: