Kedudukan Kritik
Sastra
Istilah “sastra” atau
“kesusastraan” mengandung dua makna, yaitu (1) sastra atau kesusastraan kreatif
yang berwujud karya sastra (tulisan para pengarang), seperti novel, cerpen,
drama, dan puisi, (2) sastra atau kesusastraan ilmiah, yang terdiri dari tiga
bidang studi yaitu (a) teori satra, (b) sejarah sastra, dan (c) kritik sastra.
Teori sastra adalah bidang studi
sastra yang yang membicarakan pengertian-pengertian sastra, hakikat sastra,
prinsip-prinsip sastra, latar belakang sastra, jenis-jenis sastra, susunan
karya sastra, dan prinsip penilaian karya sastra. Sejarah sastra adalah bidang
studi sastra yang membicarakan perkembangan sastra sejak awal muncul sampai
pada masa sekarang. Dalam sejarah sastra inilah orang dapat melihat timbul dan
tenggelamnya suatu jenis sastra (genre)
tertentu, bagaimana aliran yang satu mati dan digantikan oleh aliran yang lain,
bagaimaa gaya pada suatu waktu menjadi mode yang sangat digemari kemudian
tenggelam dan muncul gaya baru. Kritik sastra adalah bidang studi sastra yang
membicarakan karya sastra secara langsung dengan cara menganalisis,
menginterpretasi, dan menilai karya sastra.
Ketiga bidang tersebut
berhubungan secara timbal balik. Teori sastra dapat menjadi patokan bagi
pelaksanaan sejarah sastra dan kritik sastra. Sejarah sastra dapat menjadi
pegangan bagi pelaksanaan kritik sastra dan hasilnya dapat menjadi masukan bagi
teori sastra. Kritik sastra dapat menjadi masukan bagi penyusunan sejarah dan
teori sastra. Selain itu, masing-masing bidang studi tidak dapat berdiri
sendiri dan tidak dapat dipisahkan. Sejarah sastra tidak dapat menjalankan
tugasnya dengan baik tanpa memperoleh bantuan teori sastra. Misalnya,
penggolongan ke dalam periode atau angkatan tidak dapat dilakukan tanpa pengetahuan
tentang teori gaya bahasa, latar belakang, struktur, aliran, dan sebagainya.
Teori sastra tidak dapat menyusun suatu teori tentang teknik cerita yang baik,
teori tentang gaya bahasa yang baik, tanpa bantuan suatu kritik sastra atas
karya-karya sastra. Begitu pula sejarah sastra, akan sia-sia menyusun
periodisasi atau aliran sastra tanpa bantuan kritik sastra.
Mengingat hubungan yang
timbal-balik dan saling berjalinan di antara ketiga cabang ilmu sastra itu,
maka kedudukan seorang kritikus sastra yang bergerak dalam kritik sastra sangat
penting. Ketepatan pendapatnya tentang karya-karya sastra akan membantu
memajukan teori dan sejarah sastra. Atau bahkan mungkin karena pendapatnya yang
serba baru, yang secara ilmiah dapat dipertanggungjawabkan, tidak mustahil
melahirkan suatu teori baru tentang sastra dan penyusunan baru sejarah sastra.
Dengan demikian, kritik sastra (tulisan kritikus sastra) menempati kedudukan
yang penting untuk memajukan ilmu sastra, terutama teori sastra dan sejarah
sastra.
Pengertian Kritik Sastra
1. Kritik sastra merupakan salah satu cabang studi sastra yang
penting dalam kaitannya dengan ilmu sastra dan penciptaan sastra. Tidak seperti
halnya kuantitas penciptaan sastra, penerbitan buku kritik sastra selama ini terbatas.
Keterbatasan itu, antara lain, juga dipengaruhi oleh terbatasnya kritikus
sastra Indonesia modern. Kritik sastra merupakan salah satu studi sastra. Studi
sastra meliputi tiga bidang, yakni: teori sastra, sejarah sastra dan kritik
sastra (Wellek dan Warren, 1968:27).
2. Istilah kritik sastra telah dikenal pada sekitar tahun 500
SM. Kata kritik berasal dari bahasa
Yunani krites yang berarti “seorang
hakim”, kata kritesmerupakan kata
benda, sedang kata kerjanya krinein yang
berarti “menghakimi”, kriterion
berarti “dasar penghakiman”, dan kritikos
berarti“hakim karya sastra”(Hardjana, 1981:2).
3. Dalam sastra Inggris, pada abad ke-17, istilah critic digunakan untuk menunjukkan orang
yang melakukan kritik (kritikus) dan perbuatan kritik (kritik sastra). Kemudian
muncul istilah criticm, yang dipakai
pertama kali oleh John Dryden (1677).
4.
H.B. Jassin mengemukakan definisi kritik sastra adalah pertimbangan baik
atau buruknya karya sastra, penerangan dan penghakiman karya sastra. Definisi
tersebut rupanya benar-benar diterapkan oleh H.B. Jassin dalam bukunya Analisa dan Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esai. Jadi, kritik
sastra itu berarti penghakiman terhadap karya sastra. Menghakimi itu berarti menentukan baik berarti menentukan baik
atau buruknya karya sastra, dalam arti bernilai seni tinggi atau kurang
bernilai seni karya sasta itu (Jassin, 1959:45)
5.
Abrams (1971:35)memberi definisi kritik sastra adalah studi sastra yang
berhubungan dengan pendefinisian, penggolongan, penguraian, dan penilaian karya
sastra. Jadi, dalam melakukan kritik terhadap sebuah karya sastra, peneliti
menetapkan pengertian, menggolongkan, menguraikan atau memecah-mecah disertai
tafsiran-tafsiran, dan akhirnya menerangkan karya sastra tersebut bagaimana
kelebihan-kelebihannya dan cacat-cacatnya dengan alasan-alasan atau
komentar-komentar yang dapat dipertanggungjawabkan.
6.
Menurut Hardjana dalam bukunya
Kritik Sastra: Sebuah Pengantar
(1981), mengemukakan definisi kritik sebagai hasil usaha pembaca dalam mencari
dan menentukan nilai hakiki karya sastra lewat pemahaman dan penafsiran
sistematik yang dinyatakan dalam bentuk tertulis. Menurut Hardjana, kritik
sastra bukanlah hasil kerja yang luar biasa, tetapi dengan sendirinya melekat
dalam pengalaman sastra seseorang. Seorang pembaca karya sastra dapat membuat
kritik sastra yang baik, apabila dia betul-betul berminat pada sastra, terlatih
kepekaan citranya, dan mendalami karya sastra.
7.
Sesuai dengan definisi yang dikemukakan H.B. Jassin, Pradopo
(1967:9-10)menyatakan bahwa kritik sastra itu studi sastra untuk menghakimi
karya sastra, untuk memberi penilaian dan keputusan mengenai bermutu atau
tidaknya karya sastra itu. Dalam kritik sastra, suatu karya dianalisis
unsur-unsurnya atau norma-normanya, diselidiki, diperiksa satu persatu unsur-unsurnya,
kemudian ditentukan berdasarkan hukum-hukum penilaian karya sastra, bernilai
atau kurang bernilai karya sastra itu.
8.
Pendapat H.B. Jassin itu sesuai dengan definisi Hudson. Istilah kritik
dalam artinya yang tajam adalah penghakiman yang dilakukan oleh seseorang
kritikus. Kritikus itu dipandang sebagai seorang ahli yang memiliki suatu
kepandaian khusus untuk membedah karya sastra dan memeriksa karya sastra
mengenai kebaikan-kebaikannya, cacat-cacatnya, serta menyatakan pendapatnya
tentang hal tersebut (Hudson, 1955:260).
Istilah kritik
sastra yang melekat pada Kritik Sastra Indonesia sudah tidak asing lagi
bagi mahasiswa sastra dan peminat sastra indonesia. Istilah tersebut dapat
dijelaskan secara singkat dan populer, tetapi dapat juga dipaparkan secara
panjang lebar dan ilmiah. Mungkin juga istilah tersebut tidak terpahami secara
definitif, tetapi terpahami prinsip-prinsipnya seperti yang diterapkan dan
dikembangkan oleh orang-orang yang berkiprah di dunia pengetahuan sastra
terapan seperti para wartawan, kolumnis, peresensi buku, kritikus dan esais
pada umumnya.
Kritik sastra
merupakan salah satu cabang studi sastra yang langsung berhadapan dengan karya
sastra secara langsung dengan menekankan pada aspek penilaiannya terhadap karya
sastra tersebut.
Dengan demikian
kritik sastra dapat diartikan sebagai salah satu objek studi sastra (cabang
ilmu sastra) yang melakukan analisis, penafsiran dan penilaian terhadap teks
sastra sebagai karya seni. Namun, pengertian atau definis tersebut bukanlah
satu-satunya pengertian mengenai kritik sastra, masih banyak pendapat yang
disampaikan oleh para kritikus sastra atau bahkan sastrawan yang mencoba
merumuskan mengenai pengertian kritik sastra.
Kegiatan kritik
sastra mula-mula dilakukan oleh bangsa Yunani Xenophanes dan Heraclitus. Kedua
bangsa tersebut mengecam pujangga agung Homerus yang gemar mengisahkan cerita
bohong dan tidak senonoh tentang dewa-dewi Yunani. Peristiwa kritik ini
kemudian diikuti oleh tokoh-tokoh lainnya, seperti Aristophanes (450-385 SM),
Plato (427-347 SM), Aristoteles (384-322 SM). Plato berpendapat bahwa karya
sastra yang baik haruslah mengandung tiga unsur, yaitu: (1) memberikan ajaran
moral yang tinggi, (2) memberi kenikmatan, dan (3) memberikan ketepatan dalam
wujud pengungkapannya.Aristoteles mulai mempertentangkan karya sastra yang
bersifat sosial dengan yang bernilai seni. Perkembangan kritik sastra Yunani
Klasik menemukan jatidirinya setelah lahirnya Poetica yang merupakan tulisan Aristoteles. Tulisan tersebut
merupakan sumber pemikiran sastra selanjutnya, terutama zaman Renaisans di
Eropa.
Berdasarkan
definisi-definisi atau batasan-batasan tersebut diatas jelas bahwa kritik
sastra merupakan kegiatan penilaian terhadap karya sastra. Dalam realitanya,
setiap karya sastra bukan materi yang ada dengan sendirinya, melainkan materi
yang diciptakan oleh pengarang. Maka, kritik sastra dapat mencakup masalah
kepengarangan yang bersangkutan dengan hakikat karya sastra, atau mencakup
masalah hubungan sastra dengan kemanusiaan. Meskipun perlu ditegaskan bahwa
sasaran utama kritik sastra ialah karya sastra atau teks, bukan pengarangnya.
Jenis Kritik Sastra
Kritik Teoritis
Kritik sastra yang berusaha (bekerja) atas dasar prinsip-prinsip umum untuk
menetapkan seperangkat istilah yang berhubungan, pembedaan-pembedaan, dan
kategori-kategori, untuk diterapkan pada pertimbangan-pertimbangan dan
interpretasi-interpretasi karya sastra maupun penerapan “kriteria” (standar
atau norma) untuk menilai karya sastra dan pengarangnya.
Kritik Terapan
Merupakan diskusi karya sastra tertentu dan penulis-penulisnya. Misalnya buku
“Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esei” Jilid II (1962) dikritik
sastrawan-sastrawan dan karyanya, diantaranya Mohammad Ali, Nugroho
Notosusanto, Subagio Sastrowardoyo, dan lain sebagainya
Kritik Judisial
Adalah kritik sastra yang berusaha menganalisis dan menerangkan efek-efek karya
sastra berdasarkan pokoknya, organisasinya, teknik, serta gayanya, dan
mendasarkan pertimbangan-pertimbangan individu kritikus atas dasar
standar-standar umum tentang kehebatan dan keluarbiasaan sastra.
Penilaia terhadap karya dan pengarang berdasarkan ukuran yang telah ditetapkan
sebelumnya.
Kritik Induktif
Kritik sastra yang menguraikan bagian-bagian karya sastra berdasarkan
fenomena-fenomena yang ada secara objektif.
Kritik induktif meneliti karya sastra sebagaimana halnya ahli ilmu alam
meneliti gejala-gejala alam secara objektif, tanpa menggunakan standar-standar
yang tetap yang berasal dari luar dirinya.
Kritik ini tidak mau mengakui adanya aturan-aturan atau ukuran-ukuran yang ada
sebelumnya.
Kritik Impresionistik
Adalah kritik sastra yang berusaha menggambarkan dengan kata-kata, sifat-sifat
yang terasa dalam bagian-bagian khusus atau dalam sebuah karya sastra dan
menyatakan tanggapan-tanggapan (impresi) kritikus yang ditimbulkan secara
langsung oleh karya sastra.
Kritik ekspresionistik
Kritik yang menekankan kepada kebolehan pengarang dalam mengeksresikan atau
mencurahkan idenya ke dalam wujud sastra.
Kritik ini cenderung menimbang karya sastra dengan memperlihatkan kemampuan
pencurahan, kesejatian, atau visi penyair yang secara sadar atau tidak
tercermin pada karya tersebut
Kritik Mimetik
Kritik yang bertolak pada pandangan bahwa karya sastra merupakan tiruan atau
penggambaran dunia dan kehidupan manusia. Kritik ini cenderung mengukur
kemampuan suatu karya sastra dalam menangkap gambaran kehidupan yang dijadikan
suatu objek
Kritik Pragmatik
Kritik yang disusun berdasrkan pandangan bahwa sebuah karya sastra disusun
untuk mencapai efek-efek tertentu kepada pembaca, seperti efek kesenangan,
estetika, pendidikan, dan sebagainya. Model kritik ini cenderung memberikan
penilaian terhadap suatu karya berdasarkan ukuran keberhasilannya dalam
mencapai tujuan tersebut.
Kritik Ekspresif
Kritik yang menekankan kepada kebolehan pengarang dalam mengekspresikan atau
mencurahkan idenya ke dalam wujud sastra. Kritik ini cenderung menimbang karya
sastra dengan memperlihatkan kemampuan pencurahan, kesejatian, atau visi
penyair yang secara sadar atau tidak tercermin pada karya tersebut.
Kritik Objektif
Suatu kritik sastra yang menggunakan pendekatan bahwa suatu karya sastra adalah
karya yang mandiri. Kritik ini menekankan pada unsur intrinsik.
Tidak perlu dilihat dari segi pengarang, pembaca, atau dunia sekitarnya.
Rincian dari kritik sastra penilaian, yakni:
Kritik sastra ilmiah; dilakukan dengan pendekatan ilmiah.
Kritik sastra estetis; menggunakan pendekatan estetis, yang mengutamakan kritik
dari segi keindahan suatu karya sastra.
Kritik sastra sosial; menggunakan pendekatan sosiologis, karya sastra tsb
ditelaah dengan segi-segi sosial kemasyarakatan yang berada disekitar kelahiran
karya tsb, serta sumbangan yang diberikan terhadap pembinaan tata keidupan
masyarakat.
Tujuan kritik sastra
1. Mempertimbangkan/menjelaskan ttg karya sastra serta prinsip-prinsip
terpenting tentang karya sastra tsb kpd penikmat yang kurang memahami.
2. Menerangkan seni imajinatif shg mampu memberi jawaban terhadap hal-hal yang
dipertanyakan pembaca.
3. Membuatkan aturan-aturan untuk para pengarang dan mengatur selera pembaca.
4. Menginterprestasikan suatu karya sastra thd pembaca yang tidak mampu
memberikan apresiasi.
5. Memberikan keputusan atau pertimbangan dengan ukuran penilaian yang telah
ditetapkan.
6. Menemukan dan mendapatkan asas yang dapat menerangakan dasar-dasar seni yang
baik.
Berguna bagi perkembangan sastra
Berguna untuk penerangan bagi pembaca
Berguna bagi ilmu sastra itu sendiri
Memberi sumbangan pendapat untuk menyusun sejarah sastra
Peran Kritikus Sastra
Menjalankan disiplin pribadinya sebagai jawaban terhadap karya sastra tertentu.
Berbeda dengan seorang estetikus, karena kritikus adalah orang yang terlatih
kemampuannya dalam memisahkan hal-hal yang bersifat emosional dengan hal-hal
yang rasional.
Bertindak sebagai pendidik yang berupaya membina dan mengembangkan kejiwaan suatu
masyarakat.
Bertindak sebagai hakim yang bijaksana, yang dapat membangkitkan kesadaran
serta menghidupkan suara hati nurani, pembinaan akl budi, ketajaman pikiran,
dan kehalusan cita rasa.
Klasifikasi Teori Sastra
Klasifikasi
Abrams
TEORI-TEORI OBJEKTIF
Strukturalisme
New Criticism
Deconstruksi dan Post-Strukralisme
1.1 Struktural Formalis
Istilah Formalisme (dari kata Latin forma yang berarti bentuk, wujud) berarti
cara pendekatan dalam ilmu dan kritik sastra yang mengesampingkan data
biografis, psikologis, ideologis, sosiologis dan mengarahkan perhatian pada
bentuk karya sastra itu sendiri. Para Formalis meletakkan perhatiannya pada
ciri khas yang membedakan sastra dari ungkapan bahasa lainnya. Istilah
Strukturalisme acap kali digunakan pula untuk menyebut model pendekatan ini
karena mereka memandang karya sastra sebagai suatu keseluruhan struktur yang
utuh dan otonom berdasarkan paradigma struktur kebahasaannya.
Pelopor Struktural Formalis
Kaum Formalis Rusia tahun 1915-1930 dengan tokoh-tokohnya seperti Roman
Jakobson, Rene Wellek, Sjklovsky, Eichenhaum, dan Tynjanov
Rene Wellek dan Roman Jakobson beremigrasi ke Amerika Serikat
Sumbangan penting kaum formalis bagi ilmu sastra adalah secara prinsip mereka
mengarahkan perhatian kita kepada unsur-unsur kesastraan dan fungsi puitik.
Sampai sekarang masih banyak dipergunakan istilah teori sastra dan analisis
sastra yang berasal dari kaum Formalis.
Prinsip Dasar Struktural Formalis
Prinsip keseluruhan (wholness) bahwa bagian-bagian atau unsurnya menyesuaikan
diri dengan seperangkat kaidah intrinsik yang menentukan baik keseluruhan
struktur maupun bagian-bagiannya.
Prinsip transformasi (transformation), struktur itu menyanggupi prosedur
transformasi yang terus menerus memungkinkan pembentukan bahan-bahan baru
Prinsip keteraturan yang mandiri (self regulation) yaitu tidak memerlukan
hal-hal di luar dirinya untuk mempertahankan prosedur transformasi, struktur
itu otonom terhdap rujukan sistem lain
Langkah Kerja
Membangun teori struktur sastra sesuai dengan genre yang diteliti. Struktur
yang dibangun harus mampu menggambarkan teori struktur yang handal, sehingga
mudah diikuti oleh peneliti sendiri. Peneliti perlu memahami lebih jauh hakikat
setiap unsur pembangun karya sastra.
Peneliti melakukan pembacaan secara cermat, mencatat unsur-unsur struktur yang
terkandung dalam bacaan itu. Setiap unsur dimasukkan ke dalam kartu data,
sehingga memudahkan analisis. Kartu data sebaiknya disusun alpabetis, agar
mudah dilacak pada setiap unsur.
Unsur tema, sebaiknya dilakukan terlebih dahulu sebelum membahas unsur lain,
karena tema akan selalu terkait langsung secara komprehensif dengan unsur lain.
Langkah Kerja
Setelah analisis tema, baru analisis alur, konflik, sudut pandang, gaya,
setting, dan sebagainya andaikata berupa prosa.
Yang harus diingat, semua penafsiran unsur-unsur harus dihubungkan dengan unsur
lain, sehingga mewujudkan kepaduan makna struktur.
Penafsiran harus dilakukan dalam kesadaran penuh akan pentingnya keterkaitan
antar unsur. Analisis yang meninggalkan kepaduan struktur, akan bias dan
menghasilkan makna yang mentah.
Kelemahan Strukturalisme
Sebagai sebuah model teori kritik, strukturalisme bukan tanpa kelemahan. Ada
beberapa kelemahan yang perlu direnungkan bagi pengeritik struktural, yaitu
melalui struktural karya sastra seakan-akan diasingkan dari konteks fungsinya
sehingga dapat kehilangan relevansi sosial, tercerabut dari sejarah, dan
terpisah dari aspek kemanusiaan.
1.2 Struktural Genetik
Muncul sebagai wujud ketidakpuasan terhadap teori struktural yang melihat
karya sastra sebagai sesuatu yang otonom
Pendirinya adalah Taine dan dikembangkan oleh Lucian Goldman di Paris
Prinsip Dasarnya: Karya sastra tidak sekedar fakta imajinatif dan pribadi,
melainkan juga sebagai cerminan atau rekaman budaya, suatu perwujudan pikiran
tertentu pada saat karya diciptakan
1.3 Struktural Dinamik
Merupakan jembatan penghubung antara teori struktural formalis dan teori
semiotik
Hampir sama dengan struktural genetik (mengaitkan dengan asal-usul teks) tetapi
penekanannya berbeda, Struktural Dinamik menekankan pada struktur, tanda, dan
realitas
Tokoh-tokohnya : Julia Cristeva dan Roland Bartes (Strukturalisme Prancis)
2. Semiotik Sastra
Dari kata semeion = tanda yaitu ilmu yang mempelajari tanda-tanda, sistem-sistem
tanda, dan proses suatu tanda diartikan (Hartoko, 1986:131)
Ilmu yang mempelajari berbagai objek, peristiwa, atau seluruh kebudayaan
sebagai tanda
Tokohnya:
Ferdinand de Saussure (Prancis)
Jurij Lotman (Rusia)
Charles Sanders Pierce (USA)
3. New Criticism
Muncul tahun 1920-1960. John Crowe Ransom (USA) The New Criticism.
Tokoh lainnya: I. A. Richard, T. S. Eliot, Cleanth Brooks, Robert Penn Warren,
Allen Tate, R. P. Blackmur, William K. Wimsatt
Prinsip dasarnya hampir sama dengan Formalis, namun contoh karya mereka lebih
mengarah kepada puisi sehinggga jenis karya sastra yang lainnya merasa
diabaikan.
Deconstruksi dan Post-Strukralisme
"Dekonstruksi" adalah sebuah istilah yang digunakan untuk menyebut
cara membaca sebuah teks (sastra maupun filsafat) yang berdasarkan pada pola
pandangan filsafat Jacques Derrida. Derrida sendiri dipengaruhi pandanganl
fenomenologi (Heidegger) dan skeptisisme (Nietzche). Pandangan ini menentang
klaim strukturalisme yang menganggap sebuah teks mengandung makna yang sah
dalam struktur yang utuh di dalam sistem bahasa tertentu. Dekonstruksi disebut
juga sebagai
Poststructuralism (Pascastrukturalisme) karena membangun teorinya
atas dasar konsep-konsep strukturalisme-semiotik Ferdinand de Saussure.
Aliran ini mula-mula dikembangkan di Perancis oleh kelompok penulis Tel Quel
dengan tokoh perintis antara lain Jacques Derrida dan Julia Kristeva
Rangkuman
Pada umumnya penekanan perhatian teori sastra pada studi teks dapat digolongkan
ke dalam konsep strukturalisme, sekalipun konsep ini sangat beragam jangkauan,
kedalaman, dan model analisisnya. Strukturalisme, bagaimanapun, merupakan
bidang teori sastra yang sudah menjadi urutan utama kebudayaan intelektual ilmu
sastra.
Pendekatan struktural dari segi tertentu membawa hasil yang sangat memuaskan.
Usaha untuk memahami dan mengupas karya sastra atas dasar strukturnya memaksa
peneliti sastra untuk membebaskan din dari berbagai konsep metode dan teknik
yang sebenarnya berada di luar jangkauannya sebagai ahli sastra, seperti psikologi,
sosiologi, sejarah, dan filsafat.
Sekalipun demikian, patut kita catat bahwa banyak teoretisi sastra tidak puas
terhadap paradigma bahasa dalam pengkajian sastra. Teoretisi itu antara lain
Lefevere (1977), Jameson (1981), Eagleton (1983), dan para pemikii
(pascastrukturalisme Derrida, Lacan, Foucault, dll.)
Keberatan lain terhadap strukturalisme adalah sifatnya yang ahistoris;
Strukturalisme menghapus sejarah manusia karena berambisi membangun universal
yang menghapus pandangan individual.
strukturalisme juga bersifat anti humanis (Selden, 1991:70-71).
Keberatan-keberatan itulah yang kemudian memunculkan aliran Pascastrukturalisme
yang menentang setiap bentuk penyisteman yang mengabaikan keragaman kultural
dan nilai-nilai kemanusiaan. Sekalipun tidak disebutkan di atas, patut dicatat
bahwa konsep-konsep aliran Pascastrukturalisme; sangat mendukung dan memperkaya
Teori Sastra Feminisme.
good
BalasHapus