|
2.1
Alih Kode
2.1.1
Pengertian Alih
Kode
Appel
(1976:79) mendefinisikan alih kode itu sebagai, “Gejala peralihan pemakaian bahasa
karena berubahnya situasi.” Secara sosial perubahan pemakaian bahasa itu memang
harus dilakukan, sebab tidak pantas dan tida etis secara sosial untuk terus
menggunakan bahasa yang tidak dimengerti oleh orang ketiga. Oleh karena itu,
alih kode ini dapat dikatakan mempunyai fungsi sosial.
Berbeda
dengan Appel yang mengatakan alih kode terjadi antarbahasa, Hymes (1875:103
dalam Chaer dan Agustina 2010:107) menyatakan alih kode itu bukan hanya terjadi
antarbahasa, tetapi dapat juga antara ragam-ragam atau gaya-gaya yang terdapat
dalam satu bahasa. sedangkan menurut Ohoiwutun alih
kode pada hakikatnya merupakan pergantian pemakaian bahasa atau dialek.
Rujukannya adalah komunitas bahasa (dialek). Para penutur yang sedang beralih
kode berasal dari minimum dua komunitas dari
bahasa-bahasa (dialek) yang sedang mereka praktikkan. Sebaliknya, pergantian
(alih) ragam bukan berarti berganti komunitas.
Menurut
Suwito (1985:67-68) alih kode adalah peristiwa peralihan dari kode yang satu ke
kode yang lain. Menurutnya alih kode merupakan aspek ketergantungan bahasa
dalam masyarakat multilingual. Dalam alih kode penggunaan dua bahasa atau lebih
ditandai oleh: (a) masing-masing bahasa masih mendukung fungsi-fungsi
tersendiri sesuai dengan konteksnya, (b) fungsi masing-masing bahasa
disesuaikan dengan situasi yang relevan dengan perubahan konteks. Jadi, apabila
seorang penutur mula-mula menggunakan kode A (misalnya bahasa Indonesia)
kemudian menggunakan kode B (misalnya bahasa Jawa). Unsur-unsur yang
mempengaruhi alih kode yaitu pemeran serta, topik, situasi, tujuan, alur dan ragam
bahasa.
2.1.2
Penyebab Alih Kode
Alih
kode ini dilakukan seseorang secara sadar dan bersebab. Adapun penyebabnya
secara umum, antara lain:
2.1.2.1
Pembicara atau
penutur
Pembicara
atau penutur melakukan alih kode untuk mendapatkan keuntungan atau manfaat dari
tindakannya itu. misalnya dalam urusan kantor mungkin tidak akan lancar jika
rasa kesamaan satu masyarakat tutur yang ingin dikondisikan tidak berhasil. Hal
ini menyebabkan tiadanya rasa`keakraban. Alih kode untuk memperoleh keuntungan
ini biasanya dilakukan oleh penutur yang dalam peristiwa tutur itu mengharapkan
bantuan lawan tuturnya.
2.1.2.2
Pendengar atau lawan tutur
Pendengar
atau lawan tutur melakukan alih kode biasanya karena ingin mengimbangi
kemampuan berbahasa si penutur atau pembicara itu.
2.1.2.3
Perubahan situasi dengan hadirnya orang ketiga
Hadirnya
orang ketiga yang tidak mempunyai latar belakang yang sama dengan penutur dan
lawan tutur dapat menyebabkan alih kode.
2.1.2.4
Perubahan dari
formal ke informal atau sebaliknya
Perubahan
alih kode dari bahasa formal ke informal sering dijumpai. Karena situasi tak
resmi lebih mudah menggunakan bahasa pertama daripada bahasa kedua.
2.1.2.5
Perubahan topik
pembicaraan
Alih
kode terjadi jika perubahan topik pembicaraan yang dilakukan dari yang formal
ke yang informal.
2.1.2.6
Untuk membangkitkan
rasa humor
|
Alih kode ini sering dilakukan oleh guru, pemimpin
rapat, atau pelawak untuk membangkitkan rasa humor. Misalnya bagi guru
diperlukan untuk menyegarkan suasana yang dirasakan mulai lesu, bagi pemimpin
diperlukan untuk menghadapi ketegangan yang mulai timbul dalam memecahkan
masalah, sedangkan bagi seorang pelawak diperlukan untuk membuat penonton
merasa senang dan puas.
2.1.2.7
Untuk sekadar
bergengsi
Penutur
ini beralih kode karena gengsi. Hal itu terjadi apabila baik faktor situasi,
lawan bicara, topik, dan faktor-faktor
sosio-situasional yang lain sebenarnya tidak mengharuskan dia untuk
beralih kode.
2.1.3
Jenis Alih Kode
2.1.3.1
Alih kode intern adalah alih kode yang terjadi antarbahasa-bahasa daerah dalam
satu bahasa nasional atau antara dialek-dialek dalam satu bahasa daerah atau
antarbeberapa ragam dan gaya yang terdapat dalam satu dialek. Seperti dari
bahasa Indonesia ke bahasa Jawa atau sebaliknya.
2.1.3.1
Alih kode ekstern terjadi antarbahasa sendiri (salah satu bahasa atau ragam
yang ada dalam verbal repertoir masyarakat tuturnya) dengan bahasa asing.
2.2
Campur Kode
2.2.1
Pengertian Campur Kode
Menurut
Hill dan Hill (1980:122) dalam penelitian mereka mengenai masyarakat bilingual
bahasa Spanyol dan Nahuali di kelompok
Indian Meksiko, mengatakan bahwa tidak ada harapan untuk dapat membedakan
antara alih kode dan campur kode.
Persamaan
yang ada antara alih kode dan campur kode adalah digunakannya dua bahasa atau
lebih atau dua varian dari sebuah bahasa dalam satu masyarakat tutur.
Perbedaannya adalah jika dalam alih kode setiap bahasa atau ragam bahasa yang
digunakan itu masih memiliki fungsi otonomi masing-masing, dilakukan dengan
sadar, dan sengaja dengan sebab-sebab tertentu. Sedangkan dalam campur kode ada
sebuah kode utama atau kode dasar yang digunakan dan memiliki fungsi dan
keotonomiannya dan kode-kode lain yang terlibat dalam peristiwa tutur itu
hanyalah berupa serpihan-serpihan (pieces)
tanpa fungsi atau keotonomian sebagai sebuah kode. (Chaer dan Leoni 2010:
114-118)
|
Jadi, campur kode adalah pemakaian dua bahasa atau
lebih dengan saling memasukkan unsur-unsur bahasa yang satu ke dalam bahasa
yang lain, yang mana unsur-unsur bahasa atau variasi-variasinya yang menyisip
di dalam bahasa lain tidak lagi mempunyai tersendiri. Thelander (1976:103 dalam
Suwito 1991:98) berpendapat bahwa unsur-unsur bahasa yang terlibat dalam
peristiwa campur atau cooccurance itu
terbatas pada tingkat klausa. Jadi, apabila dalam suatu tuturan terjadi
percampuran atau kombinasi antara variasi-variasi yang berbeda di dalam satu
klausa yang sama, maka peristiwa itu disebut campur kode atau code mixing.
Campur kode dapat didefinisikan sebagai penggunaan
lebih dari satu bahasa atau kode dalam satu wacana menurut pola-pola yang masih
belum jelas. (Nababan dalam Arthur Yap, 1978:125). Di Indonesia dikenal bahasa
“gado-gado” yaitu penggunaan bahasa campuran antara bahasa Indonesia dengan
salah satu bahasa daerah. Di masa orde lama kita sering menyaksikan orang yang
memiliki latar belakang pendidikan Belanda bercampur kode dengan menggunakan
campuran bahasa Indonesia dan Belanda.
2.2.2
Penyebab Campur
Kode
Dewasa ini campur kode dilakukan dalam penggunaan
bahasa Indonesia yang dicampur dengan bahasa Inggris; bahkan semakin menjamur.
Weinrich (1953) menamai campur kode ini sebagai “mixed grammar”.
Tanya :
Ngapain pagi-pagi sudah di sini?
Jawab : Pesawatnya perlu di run-up, diinspeksi, dicek oli, busi. Landing gear dibuka.
Potongan singkat percakapan di atas menunjukkan
terdapat campur kode yang didorong oleh keterpaksaan. Konsep seperti “run up, inspection, landing gear”
seakan-akan tidak ada padanannya dalam bahasa Indonesia. Untuk diketahui, run up berarti pemanasan mesin pesawat
terbang mengikuti prosedur tertentu yang telah ditetapkan. Diinspeksi sama dengan mengadakan pemeriksaan terhadap pesawat
terbang yang akan dioperasikan. Landing
gear bukan sekadar roda, tetapi alat pendarat pada pesawat terbang,
termasuk roda dan ponton. Penyebab
campur kode ini adalah suatu keterpaksaan teknologis atau semacam pemenuhan
kebutuhan mendesak (need filling motive).
|
Berbeda dengan campur
kode karena keterpaksaan teknologis, kasus penggunaan campur bahasa Indonesia
dan Belanda di zaman orde lama atau zaman sebelum kemerdekaan cenderung dimotivasi oleh usaha para
penuturnya menunjukkan status keterpelajarannya. Campur kode jenis ini pada
umumnya hanya terjadi pada situasi berbahasa tidak resmi, dan didorong oleh
motif prestise (prestige filling motive)
Penyebab
terjadinya campur kode menurut Suwito (1991: 90-91) ada dua, yaitu campur kode
yang bersifat ke luar ektern code mixing
(campur kode dengan unsurnya bersumber dari bahasa asing) dan campur kode yang
bersifat ke dalam atau inner code mixing
(campur kode dengan unsur-unsur yang bersumber dari bahasa asli atau bahasa serumpun).
Penyebab campur kode yang bersifat ke luar antara lain:
2.2.2.1
Identifikasi
peranan
Ukuran
untuk identifikasi peranan adalah sosial, registral, dan edukasional.
2.2.2.2
Identifikasi
ragam
Identifikasi
ragam ditentukan oleh bahasa dimana seorang penutur melakukan campur kode yang
akan menempatkannya di dalam hierarki status sosialnya.
2.2.2.3
Keinginan untuk
menjelaskan dan menafsirkan
Hal
ini nampak karena campur kode juga menandai sikap dan hubungannya terhadap
orang lain dan sikap dan hubungan orang lain terhadapnya.
Selain
itu, campur kode terjadi karena adanya hubungan timbal balik antara peranan
(penutur), bentuk bahasa, dan fungsi bahasa. Artinya penutur yang mempunyai
latar belakang sosial tertentu, cenderung memilih bentuk campur kode tertentu
untuk mendukung fungsi-fungsi tertentu. Pemilihan campur kode tersebut
dimaksudkan untuk menunjukkan status sosial dan identitas pribadinya di dalam
masyarakat.
2.2.3
Macam Wujud
Campur Kode
Menurut
Suwito (1985:80), macam wujud campur kode antara lain:
2.2.3.1
Penyisipan
unsur-unsur yang berujud kata
Mangka
seringkali ada kata-kata seolah-olah bahasa daerah itu kurang penting à padahal
seringkali ada kata-kata seolah-olah
bahasa daerah itu kurang penting
2.2.3.2
|
Penyisipan unsur-unsur yang berujud frasa
Nah
karena saya sudah kadhung apik sama
dia, ya tak teken à
nah karena saya sudah terlanjur baik
dengan dia, ya saya tanda tangan
2.2.3.3
Penyisipan
unsur-unsur yang berujud bentuk baster
Banyak
klap malam yang harus ditutup
2.2.3.4
Penyisipan
unsur-unsur yang berujud perulangan kata
Saya
sih bolah-boleh saja, asal dia
jangan tonya-tanya lagi.
2.2.3.5
Penyisipan
unsur-unsur yang berujud ungkapan atau idiom
Pada
waktu ini hendaknya kita hindari cara bekerja alon-alon asal kelakon (perlahan-lahan asal dapat berjalan)
2.2.3.6
Penyisipan
unsur-unsur yang berujud klausa
Pemimpin
yang bijaksana akan bertindak ing ngarsa
sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani (di depan memberi
teladan, di tengah mendorong semangat, di belakang mengawasi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar