Minggu, 22 Maret 2015

Alih Kode dan Campur Kode


 
2.1         Alih Kode
2.1.1   Pengertian Alih Kode
Appel (1976:79) mendefinisikan alih kode itu sebagai, “Gejala peralihan pemakaian bahasa karena berubahnya situasi.” Secara sosial perubahan pemakaian bahasa itu memang harus dilakukan, sebab tidak pantas dan tida etis secara sosial untuk terus menggunakan bahasa yang tidak dimengerti oleh orang ketiga. Oleh karena itu, alih kode ini dapat dikatakan mempunyai fungsi sosial.
Berbeda dengan Appel yang mengatakan alih kode terjadi antarbahasa, Hymes (1875:103 dalam Chaer dan Agustina 2010:107) menyatakan alih kode itu bukan hanya terjadi antarbahasa, tetapi dapat juga antara ragam-ragam atau gaya-gaya yang terdapat dalam satu bahasa. sedangkan menurut Ohoiwutun alih kode pada hakikatnya merupakan pergantian pemakaian bahasa atau dialek. Rujukannya adalah komunitas bahasa (dialek). Para penutur yang sedang beralih kode berasal dari minimum dua komunitas dari bahasa-bahasa (dialek) yang sedang mereka praktikkan. Sebaliknya, pergantian (alih) ragam bukan berarti berganti komunitas.
Menurut Suwito (1985:67-68) alih kode adalah peristiwa peralihan dari kode yang satu ke kode yang lain. Menurutnya alih kode merupakan aspek ketergantungan bahasa dalam masyarakat multilingual. Dalam alih kode penggunaan dua bahasa atau lebih ditandai oleh: (a) masing-masing bahasa masih mendukung fungsi-fungsi tersendiri sesuai dengan konteksnya, (b) fungsi masing-masing bahasa disesuaikan dengan situasi yang relevan dengan perubahan konteks. Jadi, apabila seorang penutur mula-mula menggunakan kode A (misalnya bahasa Indonesia) kemudian menggunakan kode B (misalnya bahasa Jawa). Unsur-unsur yang mempengaruhi alih kode yaitu pemeran serta, topik, situasi, tujuan, alur dan ragam bahasa.


2.1.2 Penyebab Alih Kode
Alih kode ini dilakukan seseorang secara sadar dan bersebab. Adapun penyebabnya secara umum, antara lain:
2.1.2.1  Pembicara atau penutur
Pembicara atau penutur melakukan alih kode untuk mendapatkan keuntungan atau manfaat dari tindakannya itu. misalnya dalam urusan kantor mungkin tidak akan lancar jika rasa kesamaan satu masyarakat tutur yang ingin dikondisikan tidak berhasil. Hal ini menyebabkan tiadanya rasa`keakraban. Alih kode untuk memperoleh keuntungan ini biasanya dilakukan oleh penutur yang dalam peristiwa tutur itu mengharapkan bantuan lawan tuturnya.
2.1.2.2 Pendengar atau lawan tutur
Pendengar atau lawan tutur melakukan alih kode biasanya karena ingin mengimbangi kemampuan berbahasa si penutur atau pembicara itu.
2.1.2.3 Perubahan situasi dengan hadirnya orang ketiga
Hadirnya orang ketiga yang tidak mempunyai latar belakang yang sama dengan penutur dan lawan tutur dapat menyebabkan alih kode.
2.1.2.4  Perubahan dari formal ke informal atau sebaliknya
Perubahan alih kode dari bahasa formal ke informal sering dijumpai. Karena situasi tak resmi lebih mudah menggunakan bahasa pertama daripada bahasa kedua.
2.1.2.5  Perubahan topik pembicaraan
Alih kode terjadi jika perubahan topik pembicaraan yang dilakukan dari yang formal ke yang informal.
2.1.2.6  Untuk membangkitkan rasa humor

 
Alih kode ini sering dilakukan oleh guru, pemimpin rapat, atau pelawak untuk membangkitkan rasa humor. Misalnya bagi guru diperlukan untuk menyegarkan suasana yang dirasakan mulai lesu, bagi pemimpin diperlukan untuk menghadapi ketegangan yang mulai timbul dalam memecahkan masalah, sedangkan bagi seorang pelawak diperlukan untuk membuat penonton merasa senang dan puas.
2.1.2.7  Untuk sekadar bergengsi
Penutur ini beralih kode karena gengsi. Hal itu terjadi apabila baik faktor situasi, lawan bicara, topik, dan faktor-faktor  sosio-situasional yang lain sebenarnya tidak mengharuskan dia untuk beralih kode.
2.1.3 Jenis Alih Kode
2.1.3.1 Alih kode intern adalah alih kode yang terjadi antarbahasa-bahasa daerah dalam satu bahasa nasional atau antara dialek-dialek dalam satu bahasa daerah atau antarbeberapa ragam dan gaya yang terdapat dalam satu dialek. Seperti dari bahasa Indonesia ke bahasa Jawa atau sebaliknya.
2.1.3.1 Alih kode ekstern terjadi antarbahasa sendiri (salah satu bahasa atau ragam yang ada dalam verbal repertoir masyarakat tuturnya) dengan bahasa asing.

2.2         Campur Kode
2.2.1 Pengertian Campur Kode
Menurut Hill dan Hill (1980:122) dalam penelitian mereka mengenai masyarakat bilingual bahasa Spanyol  dan Nahuali di kelompok Indian Meksiko, mengatakan bahwa tidak ada harapan untuk dapat membedakan antara alih kode dan campur kode.
Persamaan yang ada antara alih kode dan campur kode adalah digunakannya dua bahasa atau lebih atau dua varian dari sebuah bahasa dalam satu masyarakat tutur. Perbedaannya adalah jika dalam alih kode setiap bahasa atau ragam bahasa yang digunakan itu masih memiliki fungsi otonomi masing-masing, dilakukan dengan sadar, dan sengaja dengan sebab-sebab tertentu. Sedangkan dalam campur kode ada sebuah kode utama atau kode dasar yang digunakan dan memiliki fungsi dan keotonomiannya dan kode-kode lain yang terlibat dalam peristiwa tutur itu hanyalah berupa serpihan-serpihan (pieces) tanpa fungsi atau keotonomian sebagai sebuah kode. (Chaer dan Leoni 2010: 114-118)

 
Jadi, campur kode adalah pemakaian dua bahasa atau lebih dengan saling memasukkan unsur-unsur bahasa yang satu ke dalam bahasa yang lain, yang mana unsur-unsur bahasa atau variasi-variasinya yang menyisip di dalam bahasa lain tidak lagi mempunyai tersendiri. Thelander (1976:103 dalam Suwito 1991:98) berpendapat bahwa unsur-unsur bahasa yang terlibat dalam peristiwa campur atau cooccurance itu terbatas pada tingkat klausa. Jadi, apabila dalam suatu tuturan terjadi percampuran atau kombinasi antara variasi-variasi yang berbeda di dalam satu klausa yang sama, maka peristiwa itu disebut campur kode atau code mixing.
Campur kode dapat didefinisikan sebagai penggunaan lebih dari satu bahasa atau kode dalam satu wacana menurut pola-pola yang masih belum jelas. (Nababan dalam Arthur Yap, 1978:125). Di Indonesia dikenal bahasa “gado-gado” yaitu penggunaan bahasa campuran antara bahasa Indonesia dengan salah satu bahasa daerah. Di masa orde lama kita sering menyaksikan orang yang memiliki latar belakang pendidikan Belanda bercampur kode dengan menggunakan campuran bahasa Indonesia dan Belanda.
2.2.2   Penyebab Campur Kode
Dewasa ini campur kode dilakukan dalam penggunaan bahasa Indonesia yang dicampur dengan bahasa Inggris; bahkan semakin menjamur. Weinrich (1953) menamai campur kode ini sebagai “mixed grammar”.
Tanya     : Ngapain pagi-pagi sudah di sini?
Jawab    : Pesawatnya perlu di run-up, diinspeksi, dicek oli, busi. Landing gear dibuka.
Potongan singkat percakapan di atas menunjukkan terdapat campur kode yang didorong oleh keterpaksaan. Konsep seperti “run up, inspection, landing gear” seakan-akan tidak ada padanannya dalam bahasa Indonesia. Untuk diketahui, run up berarti pemanasan mesin pesawat terbang mengikuti prosedur tertentu yang telah ditetapkan. Diinspeksi sama dengan mengadakan pemeriksaan terhadap pesawat terbang yang akan dioperasikan. Landing gear bukan sekadar roda, tetapi alat pendarat pada pesawat terbang, termasuk roda dan ponton.  Penyebab campur kode ini adalah suatu keterpaksaan teknologis atau semacam pemenuhan kebutuhan mendesak (need filling motive).

 
Berbeda dengan campur kode karena keterpaksaan teknologis, kasus penggunaan campur bahasa Indonesia dan Belanda di zaman orde lama atau zaman sebelum kemerdekaan  cenderung dimotivasi oleh usaha para penuturnya menunjukkan status keterpelajarannya. Campur kode jenis ini pada umumnya hanya terjadi pada situasi berbahasa tidak resmi, dan didorong oleh motif prestise (prestige filling motive)
Penyebab terjadinya campur kode menurut Suwito (1991: 90-91) ada dua, yaitu campur kode yang bersifat ke luar ektern code mixing (campur kode dengan unsurnya bersumber dari bahasa asing) dan campur kode yang bersifat ke dalam atau inner code mixing (campur kode dengan unsur-unsur yang bersumber dari bahasa asli atau bahasa serumpun). Penyebab campur kode yang bersifat ke luar antara lain:
2.2.2.1  Identifikasi peranan
Ukuran untuk identifikasi peranan adalah sosial, registral, dan edukasional.
2.2.2.2  Identifikasi ragam
Identifikasi ragam ditentukan oleh bahasa dimana seorang penutur melakukan campur kode yang akan menempatkannya di dalam hierarki status sosialnya.
2.2.2.3  Keinginan untuk menjelaskan dan menafsirkan
Hal ini nampak karena campur kode juga menandai sikap dan hubungannya terhadap orang lain dan sikap dan hubungan orang lain terhadapnya.
Selain itu, campur kode terjadi karena adanya hubungan timbal balik antara peranan (penutur), bentuk bahasa, dan fungsi bahasa. Artinya penutur yang mempunyai latar belakang sosial tertentu, cenderung memilih bentuk campur kode tertentu untuk mendukung fungsi-fungsi tertentu. Pemilihan campur kode tersebut dimaksudkan untuk menunjukkan status sosial dan identitas pribadinya di dalam masyarakat.
2.2.3   Macam Wujud Campur Kode
Menurut Suwito (1985:80), macam wujud campur kode antara lain:
2.2.3.1  Penyisipan unsur-unsur yang berujud kata
Mangka seringkali ada kata-kata seolah-olah bahasa daerah itu kurang penting à padahal seringkali  ada kata-kata seolah-olah bahasa daerah itu kurang penting
2.2.3.2 

 
Penyisipan unsur-unsur yang berujud frasa
Nah karena saya sudah kadhung apik sama dia, ya tak teken à nah karena saya sudah terlanjur baik dengan dia, ya saya tanda tangan
2.2.3.3  Penyisipan unsur-unsur yang berujud bentuk baster
Banyak klap malam yang harus ditutup
2.2.3.4  Penyisipan unsur-unsur yang berujud perulangan kata
Saya sih bolah-boleh saja, asal dia jangan tonya-tanya lagi.
2.2.3.5  Penyisipan unsur-unsur yang berujud ungkapan atau idiom
Pada waktu ini hendaknya kita hindari cara bekerja alon-alon asal kelakon (perlahan-lahan asal dapat berjalan)
2.2.3.6  Penyisipan unsur-unsur yang berujud klausa
Pemimpin yang bijaksana akan bertindak ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani (di depan memberi teladan, di tengah mendorong semangat, di belakang mengawasi)






Tidak ada komentar:

Posting Komentar